Tritos tentu saja tak berencana untuk menyerbu Istana di siang bolong, dan Tritos berharap tak ada salah satu anak buahnya yang mengusulkan hal semacam itu, karena ia akan sangat marah apabila orang-orang yang ia bawa lupa untuk membawa otak mereka sekalian dalam rencana ini. Siapapun yang memiliki pikiran seperti itu, terus terang saja, layak untuk diikat dan dihanyutkan ke lautan luas dan biarkan mereka dimakan hiu atau paus ketimbang harus merepotkannya.
Setelah sampai ke penginapan terdekat, paling dekat dengan tempat kapal tumpangan mereka melempar sauh, Tritos mengajak mereka semua berkumpul dikamar yang ia sewa.
Terkecuali Wei yang dikirimnya untuk mengawasi bagian dalam kota. Tritos sebenarnya berencana untuk tinggal di kapal, tapi Kaburu tak mengijinkan mereka melakukan hal itu, berapapun ia dibayar atau berapapun uang yang mereka janjikan. Sepertinya ada barang-barang yang jauh lebih baik tidak jatuh ke pandangan Tritos dan kawan-kawan. Kebetulan, Tritos juga tak mau membuat matanya yang polos dikotori oleh pemandangan barang dagangan yang mungkin saja lebih buruk dari dugaannya, jadi dia menurut saja.
Tritos merasa bersalah mengirim lelaki dari Burazhong itu untuk sekali lagi menjadi mata-mata, apalagi menilik wajah Ying yang saat Tritos menyuruh Wei melakukan hal itu seolah Tritos minta Ying untuk menyerahkan sebelah tangannya. Tapi ia harus, karena tak ada pilihan lain. Tritos melihat bahwa Gal membisikkan sesuatu pada Wei sebelum ia pergi, Tritos harus menanyakan hal itu nanti.
Tritos sendiri dan Adis harus dicoret dari daftar mereka yang bisa berkeliling dengan santai. Hanya ada sedikit orang Gaedrin di Roma, menurut Gal, dan merekapun diawasi dengan ketat. Sama saja mempertaruhkan leher sendiri jika ia memaksa untuk pergi jauh-jauh dari pelabuhan. Para penjaga kota yang menjaga keamanan masih mentolerir keberadaan orang Gaedrin asalkan mereka tetap berada di pelabuhan atau bagian luar yang kumuh, tapi lain cerita jikalau mereka mulai jalan-jalan keluar dari pelabuhan, apalagi masuk ke daerah khusus para bangsawan.
Sepertinya omongan Gal ada benarnya. Tritos bisa merasakan bahwa mata orang-orang sudah mengawasinya, termasuk si pemilik penginapan yang menatapnya curiga, walau begitu Tritos menambahkan dua keping perak ke tangannya ia jadi agak ramah.
Bukan berarti Gal bisa bergerak secara bebas pula. ia memang anak dari seorang bangsawan minor, tapi menilik dari aksi kejam Quin yang membantai seluruh Primus Pilum tanpa ampun, bisa dipastikan ia akan ditangkap begitu ada yang mengenalinya. Lebih baik berhati-hati ketimbang menyesal.
Sedangkan Ying, ia mantan budak, pelarian dari Romana pula. Makin sedikit ia menampakkan muka di hadapan publik semakin baik. Beda dengan Wei yang tak punya reputasi apapun di kota Roma ini.
Tritos berpikir-pikir bahwa membawa orang-orang ini rupanya merupakan sebauh kesalahan, tapi tak ada gunanya juga berkeluh kesah setelah sampai pada tujuan. Jujur, ia sama sekali tak punya rencana dan untuk yang satu itu, dia merasa bahwa pipinya harus ditempeleng agar tak mengulang kesalahan ini sekali lagi.
Itupun, jika ia masih bisa hidup esok hari.
“Baik, biar kuluruskan hal ini,” Tritos berkata begitu bangkit dari duduk-yang-gelisah di ranjangnya, membuat semua mata tertuju kearahnya, sekaligus mematikan obrolan yang tak penting. “Ada yang punya rencana bagaimana kita harus menerobos istana?”
“Sebelum kita memutuskan hal itu, Kapten,” Adis berkata, “aku harus menanyakan satu hal. Mengapa dia harus berada di sini?” Adis menunjuk Sang Kapten kapal yang dari tadi hanya diam sambil pasang senyum gigi putihnya.
“Karena aku bisa membantu kalian menerobos penjagaan istana,” ia menjawab lancar, mengabaikan tunjukan Adis yang terkesan menyerangnya.
“Benar,” Gal ikut turun dalam percakapan. Ia menggunakan suara yang biasa ia pakai dalam pertempuran, terutama menenggelamkan suara Adis yang sepertinya ingin memprotes lebih jauh. “Dan berkatnya pula aku mendengar kabar yang mungkin, aku katakan sekali lagi, mungkin bisa membantu kita.”