Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #27

26. Carcer

Tritos menggenggam pegangan pedangnya dengan rasa was-was. Hal yang biasanya menenangkan tersebut tidak mengurangi rasa tegangnya barang sedikitpun. Ia sudah benci, sangat benci kala berita bola-hijau datang, terutama karena auksilianya ada di sana, mungkin sekarang semua mati. Hati Tritos serasa disayat belati. Ia akan membalas, setelah semua ini. Satu dari sekian banyak hutang dalam jangka hidupnya, dan kalau perlu ia lunasi dua kali.

Ia dan keempat pendampingnya kini melangkah menuju penjara, satu-satunya tempat yang menurut Wei dirasanya memungkinkan untuk menahan Jendral Tinggi dan Quin. Dalam kelam malam, dengan tudung yang menyembunyikan wajah mereka berlima. Memang di kelam kota diberlakukan jam malam, terutama untuk mencegah agar para maling tidak berurusan terlalu bebas. Tritos cemas apakah hal remeh-temeh seperti ini yang akan menjegalnya. Ditangkap oleh penjaga kota, yang mengira mereka menangkap lima tikus got, padahal beberapa diantaranya diinginkan oleh orang-orang paling penting sepenjuru Romana ….

Tritos mendengus seorang diri. Dia terlalu penakut, terlalu banyak berpikir. Selama belum terjadi, setidaknya untuk saat ini, dia tak perlu cemas. Dipaksanya memikirkan hal lain yang lebih penting daripada sekedar penjaga malam berupah rendah kota Roma.

Besok adalah hari Jendral Tinggi serta Quin akan dieksekusi. Ketika Tritos mendengar berita tentang pengadilan untuk Jendral Tinggi, dia ingin tertawa keras-keras walau yang keluar hanya desis pendek. Si Jendral bahkan sudah dipasung sebelum dihadapkan pada hakim yang sepertinya baru saja mabuk. Sedikit mendengarkan kesaksian sebelum si hakim korup mendakwanya bersalah sebagaimana pesanan Imperator. Sungguh sistem kocak yang patuh pada siapapun yang bertengger di puncaknya.

Tritos meludahi jalan paving kota Roma.

Tritos sebenarnya ingin langsung membobol penjara tepat setelah mendiskusikan rencana, tapi ia ditahan oleh Gallius. Menurut si pemuda, pasti mereka berada di penjara bawah tanah istana. Mereka baru dipindahkan tepat pada saat keduanya akan dihabisi di tanah lapang, tempat sempurna di mana rakyat Romana mampu mengawasi apa yang akan terjadi pada siapa saja yang berani menentang Imperator yang baru.

Tritos sendiri berharap bahwa semoga saja ia benar. Dia masih berpikir bahwa membebaskan mereka secepat mungkin adalah pilihan masuk akal, walau bisa jadi juga salah.

Kelompoknya ditahan beberapa saat kemudian, empat pengawas mengangkat pentung-pentung kayu mereka, obor yang menyala dipergunakan menyorot muka. Tak ada satupun yang keberatan saat Gal maju, berbisik dengan ketua petugas keliling itu sebelum memberinya sebuah kantung bergemerincing.

Hanya perlu empat detakan jantung sebelum penjaga kota melepaskan mereka. Tritos jadi cemas sekarang. Kalau orang Romana semudah ini menggadaikan kesetiaan mereka demi emas, ia takut kantong uangnya bakal kosong bahkan sebelum fajar menjelang.

“Itu tempatnya, Kapten,” Wei berbisik di dekat telinga Tritos.

Tak perlu diberitahu, sebenarnya. Si veteran tua bisa melihat bangunan tempat para tahanan dikurung. Dari luar saja sudah ketahuan kalau tempat itu dijaga sangat ketat. Dari kejauhan pun sudah terlihat cahaya dari obor yang berseliweran secara konstan.

“Kemarin hari tak seramai ini,” Wei berkata dengan dahi berkerut.

“Malah makin jelas. Mereka pasti berada di sini.” Gal menyimpulkan. Tritos untuk kali ini setuju dengannya. Tak mungkin penjagaan digandakan tanpa alasan apapun.

“Kita melangkah sambil sembunyi-sembunyi?” Ying bertanya setengah hati. Ide itu terasa konyol bahkan sebelum ia selesai mengucapkan semua kalimatnya.

Adis terkikik, cukup keras sehingga menarik perhatian para sipir yang paling dekat dengan mereka. Obor-obor itu bergoyang terkena angin, makin dekat, sangat dekat.

Adis menunjukkan senyumnya yang garang. Dia menurunkan tudung. “Kita bukan kelompok yang ahli mengendap-endap, bukan?” Adis bertanya sembari menyelipkan jari ke kapak yang tergantung di sabuknya. “Kita datang membawa keramaian.”

Tritos mendengus, malas untuk mengakui hal yang pada faktanya memang benar itu. Dia menarik pedangnya, menimbulkan suara keras diantara sunyi tengah malam. Ia maju, diikuti oleh seluruh rekan-rekannya yang juga mempersiapkan senjata masing-masing.

Sipir yang sedang mendekat ke arah mereka berteriak begitu tahu Tritos tak ada rencana untuk berdiskusi apalagi sekedar menyapa. Mereka mendapat hadiah kapak yang disabet ke arah wajah oleh Adis. Pasangan patrolinya dirobek lehernya dengan mulus oleh Wei.

“Demi Dewi Keadilan dan seluruh ketaatanku padanya,” Gal lirih mengeluh melihat dua sipir itu langsung roboh, pentung kayu mereka tergantung lemas di kedua sisi tubuh. “Tolong jangan … jangan mudah membunuh. Kalau kalian bisa membuat orang bertahan hidup, mengapa tidak? mereka hanya alat yang digunakan oleh Sang Imperator. Maksudku, mereka punya keluarga yang menanti mereka di rumah.”

Tritos sangat melupakan hal itu. Fakta bahwa setengah dari kelompok ini memiliki dendam tersendiri pada orang Romana membuat pedangnya mudah terayun pada bagian-bagian penting musuh yang bisa ia incar. Ia merasa bahwa Wei dan Ying juga merasakan hal itu. sementara Adis … yah, ia akan mengayun kapak pada siapa saja asal Tritos yang memerintahnya.

“Baiklah,” Tritos berkata dengan gigi mengertak. “Usahakan jangan membunuh, kawan-kawan.”

Lihat selengkapnya