Tritos yang pertama sampai melewati gerbang, dalam hati agak lega mengingat ia tak harus menembus benda tebal yang terbuat dari baja itu, karena jujur saja, ia sudah kehabisan akal jika disuruh melewati pertahanan setebal setengah jengkal tersebut.
Ia terus berlari, dibantu cahaya bulan dan tak hirau pada kurangnya obor yang biasanya menerangi. Langkah kakinya tenggelam dalam suara ratusan orang yang menyusulnya. Tritos cepat mengedar pandang.
Masih tak ada penjagaan, sementara beberapa legiun Eidmos serta anak buah Kaburu menyebar ke sekitar, menyibak semak, mencari di belakang bunga-bungaan berduri. Taman dengan berbagai tumbuhan langka yang pastinya tak bisa ditemukan di bagian lain Romana atau Gaedrin menghias di sana-sini, terawat baik dan tumbuh subur terutama yang paling dekat air mancur berukir. Tritos mengawasi berbagai sisi gelap sembari melaju menuju bagian dalam istana, bangunan pualam itu memantulkan cahaya bulan. Pedangnya siap di tangan, siapa tahu ada legiun yang bersembunyi dan mengincarnya.
Masih sepi. Tritos baru saja mau menyuarakan kecurigaannya kala teriakan keras terdengar dari bagian belakang.
Dengan mata melebar Tritos melihat entah bagaimana bagian tembok yang sebelumnya kosong kini penuh dengan legiun. Mereka membawa busur, satu dua dari pihak Tritos yang telah memeriksa tembok dan ingin turun digulingkan setelah ditebas lehernya.
Itu sudah cukup mengerikan tanpa seseorang berpakaian katun berwarna biru yang berada di gerbang. Naluri Tritos mengatakan bahwa tak ada seorang pun yng cukup bodoh untuk berdiri di bagian layak serang kecuali ia punya kemampuan khusus. Sosok itu tertawa nyaring. Perempuan.
“Selamat data—”
“Bantai dia! Sepuluh keping emas murni untuk siapapun yang mendapatkan kepalanya!” seru Kaburu, tak memberinya kesempatan untuk bicara. Anak buahnya serentak bergerak untuk menggempur, sementara para legiun yang berada di bagian tembok melepaskan anak panah mereka dari busur.
Si sosok yang sendirian berdecak, terdengar keras sampai mampu didengar oleh Tritos, lalu melambaikan tangan.
Hasilnya luar biasa. Anak buah Kaburu langsung terlempar seolah ditampar oleh banyak tangan berukuran raksasa yang tak kasat. Mereka menabrak tembok dan menghantam tanam-tanaman, mengacaukan para legiun Eidmos yang sebenarnya mau membantu. Pasalnya, beberapa terlempar sampai menubruk perisai besar para legiun itu.
Pendamping Tritos tak tinggal diam. Gal langsung mengkomando para legiun yang mendukung Jendral Tinggi, menyuruh mereka bergerak ke arah tangga sebelum para pemanah itu mampu membahayakan lebih banyak orang, pemegang perisai diperintahkannya untuk berada paling depan demi menghalau anak panah yang berseliweran.
Sementara Gal sibuk mengarahkan, Adis langsung ambil keputusan untuk maju tanpa menunggu, keberaniannya menyalakan semangat anak buah Kaburu yang bergegas mengikutinya. Wei dan Ying menggerakkan lengan mereka, bola api serta petir bergerak cepat untuk menyambar sosok yang telah melempar manusia seperti melempar bola-bola kapas itu.
Sosok itu menghilang tepat satu detak jantung sebelum sambaran api dan petir sihir mengenainya. Mata Tritos mencari, menemukannya sudah berpindah ke satu lemparan tombak dibelakangnya, diapit oleh ratusan legiun yang tak ia dengar kedatangannya dari sisi dalam istana pualam.
“Ckck, aku belum mengucapkan sambutan dan kau sudah menyerang,” ia menegur Tritos seperti anak kecil, sementara para pengawal di kiri kanannya bersiap dan merapatkan diri, “kurasa kau harus dihukum, bocah tengil.”
Tritos baru mau memberitahunya soal berapakah umurnya kala para legiun yang mengapit itu merangsek maju. Tritos menyambut, keinginan untuk bicara enyah bersamaan dengan lagu lama yang berdenging ditelinganya.
Lengan Tritos bergerak cepat, lawan berjatuhan seperti gandum kena sabit. Ia tetap menjagal sementara suara derita legiun yang menemuinya terus-menerus mengganggu, namun tak satupun umpat atau jerit mampu menenggelamkan lagu. Ia tak sadar Wei dan Ying sudah berada disampingnya, dibelakang mereka para legiun yang tersisa ikut membantai sesama mereka, diarahkan oleh Gal.