Tritos mendorong terbuka pintu menuju ruang utama dari seluruh istana, kemudian melangkah masuk, diikuti kawan-kawannya.
Setelah mereka melewati patung-patung dari Imperator terdahulu baik yang berjaya maupun yang mati kering akibat racun, lantas melintasi mural-mural baik karya seniman Romana maupun rampasan dari negeri yang jauh, akhirnya mereka sampai. Masih segar di pikiran Tritos tentang cahaya rembulan yang menembus jendela-jendela yang tak tertutup, memberikan kesan seolah patung-patung yang telah dilewatinya hidup.
Begitu masuk, Tritos bisa mengawasi keaeluruhannya. Ruangan ini tinggi, bagian atapnya ditopang pilar dengan ukiran-ukiran. Langit-langit juga menunjukkan gurat menyala, huruf dan kata dalan aksara Romana-Tinggi arkais yang tak diketahui artinya oleh Tritos.
“Huruf sihir,” Wei menggumam hati-hati sembari menengadah. Jari-jemarinya bergerak, Ying ikut membantu tanpa diperintah. Bisa ditebak, mereka berusaha memeriksa apa kiranya yang bisa dilakukan oleh huruf-huruf itu.
Tritos terus maju seolah tak mendengar perkataannya, diiringi Adis dengan kediaman yang tak biasa disampingnya, beserta Gal yang nampak murung.
Sampai di ujung ruangan, duduk di tahta seharusnya adalah Sang Imperator sendiri. Si penyihir biru berdiri disampingnya, dan—Tritos sama sekali tak terkejut— Quintilia di sisi yang lain. Si Pisau Berbunga nampak kusut, tak seperti penampilan biasanya yang terawat. Bawah matanya terdapat kantung-kantung hitam akibat kurang tidur.
Sang Imperator bertepuk tangan, bergaung secara aneh di ruangan luas yang memberikan kesan muram ini. Ia berhenti setelah Tritos memandanginya dengan wajah datar, sama sekali tak terkesan.
“Si Pedang Selatan, kita bertemu lagi.”
“Aku tak pernah bertemu denganmu.”
“Ah,” Sang Imperator melambaikan tangan seperti mengusir lalat remeh, “pernah. Hari di mana kau menangkap Imperator ke lima puluh dua. Aku menyaksikanmu menggilas siapapun yang mendekati dirimu. Aku masih prajurit biasa waktu itu. Namun lihatlah sekarang, di Romana, siapapun bisa menjadi apa saja yang kau mau asal cukup berusaha, benar?”
“Perempuan yang berada di kananmu itu harusnya sudah membunuhmu sebelum kami tiba di sini!” Gal berkata lantang. Matanya melebar tak percaya ketika mengenali sosok gadis yang berjanji untuk membantunya.
“Quintilia? Mengkhianatiku? Pernyataan bodoh. Dia sudah menyadari apa kesalahannya dan berjanji bekerja untukku lagi. Diamlah kau bocah tak tahu diuntung—”
“Aku bukan bocah, bedebah. Aku anak terakhir dari keluarga Donedai, datang untuk mengambil hak milikku sekaligus membalaskan dendam Primus Pilum yang kau habisi.”
Alis Sang Imperator terangkat. Sejenak kemudian ia manggut-manggut. "Aku mengerti. Tapi, kau tak pantas duduk di tahta ini, bocah. Meminta bantuan pada orang Gaedrin, sungguh suatu hal teramat hina. Hadapi orang Romana dengan orang Romana.”
“Kau sendiri dibantu oleh Quintilia,” Adis ikut bicara, dibalas anggukan Gal, barang mungkin itu adalah satu-satunya perkataan Adis yang langsung disetujuinya. Berbanding terbalik, sepertinya hal ini benar-benar menyakiti hati si Imperator.
“Gaedrin-kotor bodoh,” Sang Imperator menyalak garang dalam Romana-Tinggi. “Aku tak tahu mengapa harus mengobrol dengan kalian lebih lama lagi. Dena, mungkin sudah waktunya untuk membereskan mereka.”
Tritos tertawa kering tanpa keriangan. “Menghabisi kami, Imperator? Pria tambun sepertimu berkawankan dua orang, melawan lima?”
Si pendeta melambaikan tangannya. Sekejap terlihat kerlip, lantas sesuatu yang tersingkap. Mendadak puluhan legiun muncul dari udara kosong. Perisai mereka berbeda, dicat dengan warna gelap, pedang terpoles gelap sehingga sulit dilihat mata dalam bayang-bayang. Bukan legiun biasa. Ah, Tritos tahu jenis ini. Legiun Hitam, pelindung nomor satu Imperator. Setia sampai ke tulang sumsum.
Mau bagaimana lagi. Tritos sudah tahu rahasia soal angkatan Legiun Hitam ini. Mereka adalah mayat Monoria, diselundupkan oleh pedagang jasa gelap dari Gaedrin. Dibangkitkan lagi oleh pendeta hitam dari dewa Pantheon bernama Dispater, kesetiaan mayat hidup Monoria ini tak akan pernah goyah. Mereka pun tak kenal yang namanya mundur atau menyerah.
Justru lebih bagus, Tritos membatin berang. Dia tak perlu menahan diri.