Begitu kabar kejatuhan Sang Imperator tersebar, Roma langsung dicekam gempar.
Sejenak Tritos mengira ia harus menahan para prajurit yang ingin mendobrak pintu, tapi entah kenapa mereka jadi lebih senang bekerjasama begitu tahu pemimpin mereka telah jatuh.
Penyebabnya langsung ia ketahui begitu komandan para legiun kota Roma itu menjelaskan situasinya. Dia segera memutuskan harus ada perdamaiab segera tanpa potensi perang sipil saat seorang prajurit dari Gaedrin datang. Berlumur peluh dan debu perjalanan, prajurit itu menunggang kuda dari pagi sampai malam untuk mengabarkan bahwa Monoria sudah makin mengancam.
Tersiar kabar bahwa sebuah desa telah hancur, penduduknya dijagal sampai orang terakhir. Ini menggemparkan, sebab desa itu terletak di provinsi Triumph, provinsi terluar yang bisa disebut wilayah inti Romana. Pikir si komandan, jika kota Roma sendiri tenggelam dalam kerusuhan, bukan mustahil bahwa mereka masih saling bunuh saat Monoria telah berada di gerbang kota.
Maka mereka terpaksa menerima Gal sebagai seorang pemimpin yang sah. Beberapa langsung bertekuk lutut menyatakan sumpah setia pada Gallius. Pada masa-masa lalu, bayangan itu tentu saja dirasa oleh Tritos sebagai hal yang menggelikan, namun semua sudah berbeda sekarang.
Gal harus menjaga kesan kalau tak mau dianggap sebagai keturunan rendahan. Dia menerima semua sumpah setia, menangkupkan tangan menyambut mereka dalam ikatan bawahan-tuan. Seluwes yang bisa ia lakukan dengan pakaian berlumur darah serta nyawa-nyawa yang hilang, kini dibebankan dipunggungnya.
Begitu prosesi penerimaan ini selesai sampai ke barak terakhir, Gal langsung memerintahkan para kurir untuk mengirim kabar pada keluarga-keluarga bangsawan terdekat, untuk menguatkan legitimasinya dan memaksa mereka untuk mengakui kepemimpinannya. untuk memastikan juga, bahwa mereka tidak kabur keluar kota dan menyalakan api pemberontakan di suatu tempat.
“Orang-orangku akan mengawasi jalan. Jika ada yang mencoba kabur dan berharap untuk menjadi benalu di tempat lain,” Quin berkata sambil lalu, menggunakan pisau untuk membersihkan kuku-kukunya. “mereka tak akan pernah mencapai batas luar kota Roma. Kujamin hal itu.”
Walau sudah melewati berbagai hal dalam hidupnya, Tritos masih bisa merasakan getar hawa dingin yang menjalari punggungnya. Cara bicaranya itu … ia terdengar seperti ingin membunuh seekor serangga saja. Mudah. Tinggal injak. Dan ia mengatakannya dengan nada pasti, tak terbantah lagi. Tritos tahu betul bahwa gadis ini memang berbahaya. Ia tak bisa membayangkan akan jadi ia lima atau sepuluh tahun ke depan.
“Ngomong-ngomong, bocah. Kenapa kau tak jadi mengkhianati kami?” Adis bertanya menantang, menggebuk meja, berusaha mengintimidasinya.
Quin mendongak dari perawatan kukunya. Ia meletakkan pisau itu di meja, dan Tritos bisa merasakan bahwa Adis menegang karena itu, belum melupakan aksi Quin saat membunuh Imperator berkekuasaan tinggi dengan mudahnya, hanya dengan sebilah belati.
“Karena Imperator baru kita menjanjikan sesuatu padaku,” ia mengerling Gal, wajah pemuda itu memerah. “Hal itu tak bisa kudapatkan di bawah kekuasaan Imperator lama.”
Tritos mengurut-urut pelipisnya. Entah kenapa ia sudah bisa menebak penawaran Gallius pada gadis ini.
Adis butuh waktu sedikit lebih lama sampai ia memahami apa yang dimaksud oleh Quin. Ia kemudian berkata, hampir berbisik seperti ini pemakaman seseorang, “kau Imperator Romana akan mengangkat seorang Gaedrin sebagai permaisuri? Gallius putra Phineas, mengapa kau tak menceritakan pada kami sejak awal?”
Itu seperti mencampurkan minyak dengan air. Tritos tak tahu implikasinya pada apa-apa yang akan terjadi. Semua sudah menjadi terlalu pelik untuk ditebak ke mana arah berhembusnya.