Tritos memastikan dirinya mendapatkan istirahat yang menyenangkan. Tentu saja ditemani anggur Romana asli karena ia telah bekerja keras. Setidaknya kalau ia masih mau meruntuhkan Romana seperti rencana awal, itu mungkin bisa dicapai dengan cara mengosongkan harta hasil pajak kota Roma dengan cara memesan minuman paling mahal untuk ia minum sendiri.
Tritos meneguk, mendesah puas sebelum menghempaskan diri ke kasur bulu terbaik yang pernah dirasakannya. Ia serasa tenggelam dalam kenikmatan duniawi sementara rasa pegalnya sejenak terobati.
Tritos memikirkan Atre. Entah ada dimana ia sekarang, bagaimana reaksinya jika mendengar bahwa saudara kembarnya telah pergi terlebih dahulu ke dunia bawah. Satu anggota Sicarius hilang selamanya dari muka bumi. Tritos tak menyangka, bahwa walaupun Ates bodoh dan menyebalkan, Tritos tetap merasakan sembilu seakan melesakkan diri di dadanya, lama setelah kepergiannya.
Sebersit pemikiran muncul bersamaan dengan semua itu, membuat Tritos sejenak terhenyak. Ia mengusap-usap jenggotnya, duduk, sekelumit sisa dari rasa lelahnya sesaat lalu sirna.
Mengapa ia tak meminta kebebasan Gaedrin dari Gal? Tritos bisa bicara padanya, Gaedrin bisa bebas pada akhirnya dari cengkraman Romana.
Namun, tak akan semudah itu. Ia harus menawarkan sesuatu sebagai gantinya. Harus. Kalau tidak para konsul akan menentang. Pergerakan para Monoria langsung menusuk Romana ia rasa sungguh menguntungkan. Hanya Nautilus dan beberapa wilayah Gaedrin lain yang terluka, setelah ia mendengar warta yang disampaikan oleh kurir-kurir gerak cepat bawahan Gal. Menara Timur, Hildrae, Markae, Garat dan lainnya tidak tersentuh. Ia sendiri belum tahu alasan apa yang mendalangi invasi kali ini, mengingat dahulu hanya Gaedrin saja yang sering jadi sasaran amuk para Monoria.
Hm, mereka tertarik pada sihir, di Gaedrin hampir tak ada yang dapat melakukan itu sekarang. Dulu waktu Menara Timur masih berjaga, Gaedrin adalah yang terhebat di benua jika soal sihir. Namun menara itu runtuh terhempas air bah merah yang adalah legiun Romana, bahkan para penyihir diburu dan dieksekusi dalam sejarah kelam yang selamanya akan disebut sebagai Eksterminasi. Barangkali karena ketiadaan sihir ini, Monoria memalingkan wajah-mirip-kayu mereka ke Romana.
Ah, tak penting. Itu bisa dipikir nanti. Yang jelas, Tritos sudah memutuskan. Kini adalah saat di mana Romana sedang lemah-lemahnya dan sedang butuh pertolongan. Peluang emas untuk memperjuangkan kebebasan Gaedrin sekali lagi.
Sekarang, atau tidak sama sekali.
--
Paginya, si veteran tua melangkah menuju ruang tahta. Ia melewati pintu yang terbuka, bahkan tak melirik sekalipun pada dua legiun yang mengapit pintu di sisi kiri dan kanan yang menghormat padanya: mereka sudah terbiasa akan kehadirannya di ruangan ini.
Kala melintas menuju ruang utama, Tritos masih disambut oleh pemandangan yang seperti biasa. Tritos mengerling ke satu pojokan dan melihat sebuah patung baru, Sang Imperator bekas Jendral Tinggi, entah orang Romana memang ahli ukir cepat seperti yang ia pernah dengar atau mereka telah mempersiapkan semua saat ada Imperator baru yang naik tahta.
Wajahnya mirip dengan Imperator mati itu, hanya satu diantara puluhan patung lain. Tak ada mahkota daun atau apapun di atas kepalanya, peninggalannya hanya patung serta kerepotan-kerepotan lain.
Tritos berhenti sejarak dari tahta, langkahnya samar dibekap karpet merah membara. Mata Tritos beralih pada Gal yang sedang duduk di tahtanya, baju besinya kini berganti sutra mahal dari Timur Jauh, Quintilia berada disampingnya. Mereka berbincang ringan, begitu dekat sampai lutut keduanya bersinggungan satu sama lain.
Gallius belum memutuskan kapan ia akan mengumumkan rencananya untuk menikahi Quin pada khalayak ramai. Hal itu akan mengundang kemarahan si Nenek Nastes, yang entah mati atau belum saat Penyerbuan Nautilus.
Belum lagi fakta bahwa Quin adalah setengah- Gaedrin setengah-Nastes. Dia bukan bangsawan berdarah murni dari Romana pula, namanya sebagai Puan hanya gelar yang didapat karena kerja kerasnya. Jika Gal melanjutkan rencananya, hal ini tentu akan memicu kemarahan bagi kalangan yang memegang tradisi lama: suami Romana hanya untuk istri Romana pula.
Meski begitu, Tritos dengar ada beberapa pihak yang cukup keras mengatakan bahwa orang Gaedrin juga setara dengan orang Romana, yang membedakan hanyalah apa yang mampu mereka capai dalam kehidupan yang singkat ini. Mungkin, mungkin Quin bisa mendapatkan dukungan dari orang-orang itu.
Tritos mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya. Mereka berdua masih asyik mengobrol selama sekian detak jantung, sebelum akhirnya Tritos berdeham.
Keduanya berhenti dari obrolan mereka. Mereka sepertinya tak sadar Tritos berada di situ sedari tadi.