Pendaratan Tritos cukup mulus. Yah, cukup mulus untuknya, meski Adis harus muntah-muntah di bagian belakang perahu kecilnya. Rupanya rutinitas berbulan-bulan di atas kapal belum menuntaskan penyakitnya itu. Wei dan Ying hanya bertukar pandang cemas, namun Tritos tak ambil peduli, dia yakin kalau Adis akan baik-baik saja begitu memijak tanah padat.
Dia terus mendayung sampai perahunya menghantam batuan pantai. Ia melompat turun disusul oleh kedua ajudannya, beserta Adis yang terlihat pucat.
“Ke mana selanjutnya, Kapten?” Ying bertanya.
“Desa terdekat, tentu saja,” jawab Tritos enteng. “Aku bosan makan ikan terus. Atau daging kering.”
“Atau muntah-muntah di berbagai tempat termasuk lambung kapal,” Adis menimpali sembari mengusap bibirnya. “Demi tujuh lapis langit, aku senang tak perlu pegangan ke dek kapal lagi. Hal paling gila yang pernah manusia lakukan adalah menjelajah laut.”
“Itu … bagus?” Wei bertanya sembari merapikan lengan bajunya yang panjang. “Tapi Kapten, biar kuperjelas. Maksudku setelah semua tetek-bengek hal kecil itu, kita akan melakukan apa?”
Tritos mengangkat bahu. “Barangkali mencari teman lamaku, Wei. Teman lama seperjuangan. Tapi pertama-tama, kita habiskan uang saku dari Sang Imperator dulu.”
Itu mengundang berbagai senyum dari kawan-kawannya, sementara Tritos menyeringai lebar.
--
Setahu Tritos yang sudah lama tak melewati tempat ini, desa sederhana yang cukup dekat pantai ini ditinggali oleh penduduk yang sederhana pula. Jenis orang yang tahunya cuma pekarangan beserta ladang-ladang mereka sendiri, atau satu dua yang memilih hidup sebagai nelayan untuk menyambung hidup.
Mereka rakyat Gaedrin sejati, petani yang selalu patuh asalkan kampung halaman mereka tak diratakan dengan tanah. Mereka tidak peduli siapa yang duduk di tahta asalkan kebutuhan sehari-hari tercukupi dan pajak yang dikenakan tetap rendah.
Tak Tritos sangka bahwa tempat ini telah berubah cepat.