Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #38

37. Capio

Quinox dan Mistar sebenarnya ingin mengajaknya bicara sekarang juga, tepat begitu Tritos mengalah untuk menghampiri mereka.

Namun, Tritos menolak sembari menunjuk ke atas. Dua kawan lamanya itu hanya bertukar pandang karena tanda yang maksudnya sudah jelas itu.

Mereka memang agak lamban pikirannya, seperti yang dia ingat. Maka dari itu, Tritos melempar kunci kamarnya pada Mistar, yang walau setua dirinya, rupanya tak sia-sia mendapat julukan sebagai Penyihir Cekatan. Ia menangkapnya dengan mudah, mengawasi Tritos seolah memastikan apa yang dilihatnya ini benar kawan lamanya atau tidak sebelum berlalu ke atas.

Quinox tidak selincah itu. Ia masih menunggu-nunggu. Mata abu-abunya yang sudah terbayang warna putih tipis sama seperti Tritos mengamati pendamping-pendampingnya selagi si veteran tua menyuruh pelayan untuk membawakan minumannya dan minuman kedua kawannya ke kamar.

Tritos melangkah pergi begitu pesannya tersampaikan, bahkan tak mengindahkan Quinox yang langsung meloncat dari kursinya begitu Tritos berlalu. Pria berjuluk Si Pintu Utara itu langsung merendenginya sembari meracau seolah tak ingat umur.

“Jadi bagaimana liburanmu, eh? Menyenangkan? Kudengar kau tertangkap, tapi menilik dari para pendampingmu,” ia melirik Adis dan kedua orang Timur Jauh yang melangkah sejarak darinya, “kelihatannya ceritanya akan lebih rumit daripada hanya kabur dari penjara para penjajah.”

“Nanti,” Tritos mendesis padanya, takut jika ada yang mencuri dengar. Kehati-hatiannya membuat Quinox memutar mata, meski ia menyerah bertanya-tanya. Mereka melewati tangga, menemukan kamar yang terbuka dan Mistar yang seenaknya tiduran di kasur dengan sepatu tidak dilepas.

Tritos menunggu semua kawan-kawannya masuk dulu sebelum menutup pintu. Kemudian, tak terduga dengan kasar menarik kaki perempuan penyihir itu. Mistar langsung menendang, Tritos menampar kakinya dan kawan lamanya itu turun dari kasur sembari terkikik, melepas gelungan kainnya untuk menggerai rambut emas yang mencolok mata, kini bergaris-garis putih tanda uban mulai menyerangnya pula.

Tritos mengawasinya sembari berkacak pinggang sementara Mistar menaik-turunkan alisnya untuk menggoda. Benar-benar tak ingat umur, kedua orang ini.

“Uh, tak kusangka akan seperti ini,” kata Adis. Ia sepertinya sedang berusaha keras untuk menahan tawa. “Para legenda, bermain-main?”

Quinox melambaikan tangannya sambil lalu, sudah tahu kalau Adis adalah orang Gaedrin yang akrab dengan namanya atau Mistar. “Semua ketenaran itu malah membuat kepalaku serasa mau pecah. Kesana-kemari sambil menenteng perisai besarku dan orang-orang langsung berkata : Apa benar kau Si Pintu Utara? Apa kau mau menikahi anakku? Apa kau mau memberkati sapiku?” Quinox mengucapkan semua itu dengan logat Gaedrin pedesaan yang kental sekali.

Ia menggelengkan kepala. “Kalau aku tak melakukan hal-hal konyol mungkin aku sudah mati pada umur empat puluh karena pecah kepala.”

“Ya, pecah kepala,” Tritos berkata sambil lalu, mengawasi Wei bergegas meraih kursi untuknya duduk. Setidaknya dia punya anak buah yang jauh lebih tanggap daripada Quinox di masa lalu yang justru merampas kursi terdekat alih-alih menawarkan padanya. “Sekarang tanyakan apa yang ingin kau tanyakan, Nox. Monoria menghabisi orang-orang selagi kita bicara.”

Lihat selengkapnya