Orang-orang awam bilang bahwa senjata pilihan seseorang bisa menggambarkan kepribadian mereka. Tentu saja bagi Tritos yang telah makan asam garam kehidupan berperang yang hampir seumur hidup, semua itu hanyalah omong kosong.
Maksudnya, jika orang yang memegang perisai besar harusnya stabil dan tidak banyak omong, tapi Quinox sama sekali bertolak belakang dari pandangan tersebut.
Ia terus menyela omongan Tritos, berkali-kali mengganggu ceritanya di saat-saat yang tidak tepat. Begitu Tritos menyelesaikan ceritanya, ia pasang tampang berpuas diri seperti sebelumnya pernah dengar cerita itu dari mulut pencerita di kedai atau ia gosipkan waktu main kartu di meja bawah penginapan ini.
“Aku masih tak paham mengapa kita tidak menyatakan kebebasan secara langsung selagi Romana sedang lemah-lemahnya.”
“Karena itu sangat berbahaya,” kata Tritos datar. “Kedudukan mereka secara garis besar masih mengimbangi Monoria. Romana masih menahan tangan mereka, Nox. Jika seluruh legiun yang berada di Sirnok memutuskan untuk ikut turun tangan dan menang, maka sasaran selanjutnya kita. Mereka masih berusaha mempertahankan Sirnok karena … penduduknya lebih mudah diatur dari bangsa kita. Jika mereka memutuskan bahwa memiliki Gaedrin akan lebih menguntungkan, maka ….”
“Tak masalah. Kita hancurkan mereka,” Quinox berkeras. Mistar menggeleng lalu berkata, “Atrebates akan memberontak jika ia sudah yakin bahwa ini waktunya, Nox. Tapi Atre masih di Sirnok, belum bergerak. Kau mau ambil keputusan terlebih dahulu dan meragukan kemampuannya?”
Rahang Quinox mengatup. Ia bimbang sejenak sebelum memutuskan, “Aku tahu Atrebates orang yang cerdas.” Quinox akhirnya mengangguk-angguk sok bijak, mengakui kehebatan kawan lamanya itu. Berhubung lebih dari setengah kemenangan mereka di Anasir adalah hasil pemikiran Atre, maka ia tak melanjutkan perdebatan. Tritos heran, Quinox tampak tak berduka meski Tritos telah menceritakan tentang kematian Ates. Ia sama tak kehilangannya seperti Mistar, rupanya mereka berdua sama dalam hal ini.
Tritos beralih dari wajah menyebalkan Quinox ke Mistar. Perempuan itu mengerutkan dahi, sehingga Tritos bergegas menanyainya sebelum ditodong oleh nyala sihir lagi, “ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”
“Sedikit,” katanya. “Jujur saja, aku merasa semua ini sangat janggal. Mengapa Monoria tidak menyerang Menara Timur seperti dahulu? Malahan mereka terus menyerbu, menuju Romana.”
“Mana aku tahu apa yang ada dalam pikiran para telinga-lancip itu, mungkin karena di Menara Timur sudah roboh atau apa jadi sihir yang mereka cari sekarang ada di Romana,” Tritos mendengus. “Yang jelas, setelah Atre mengusir para barbar keadaan akan jadi sangat buruk bagi Monoria. Sedikit bantuan dari kita, maka kemenangan dapat diraih."
Quinox mendengus sembari menggaruk hidung. “Dengarkan dirimu. Kau sama seperti orang Romana, Kawan. Menyebut suku-suku itu barbar padahal mereka lebih dekat ikatan persaudaraannya dekat kita. Tapi sudahlah, terserah. Yang penting adalah janji untuk menjamin kebebasan kita.”
“Ya,” jawab Tritos pendek.
“Bagaimana kalau mereka mengkhianati janji itu?”
Ganti sekarang Tritos yang mengernyitkan dahi. Ia belum berpikir sampai ke sana. Kepercayaannya pada Gallius, sekuat apapun ia membantah memang sudah melunturkan akal sehatnya. Namun, jika ia mengingkari janjinya ….
“Maka aku akan melaksanakan pemberontakan, kalau mereka terlalu mendesak hingga kita tak punya pilihan.”