Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #40

39. Fateor

Tritos mengakui bahwa legiun memang cekatan, seburuk apapun tingkah polah mereka yang berada di puncak kepemimpinan. Rantai-rantai komando mereka mengagumkan. Sore belum datang tatkala para prajurit dari legiun kesepuluh sudah berbaris rapi, menuju tanah lapang yang ia sebutkan.

Para pengirim pesan pun sudah berangkat menuju tempat legiun-legiun lain. Jika Tritos dapat menarik kesimpulan, mungkin mereka akan berjumlah sepuluh ribu orang belum termasuk para sukarelawan dan orang-orang yang akan ditarik oleh Quinox dan Mistar. Ya, itulah tugas yang kini dijalankan oleh kedua sahabat lamanya itu: mengabarkan pada para pemberontak bahwa mereka dapat meraih kebebasan tanpa perlu melawan Romana.

“Mengagumkan,” Wei menggumam di belakang Tritos. Ia rupanya juga terpukau atas cepat tanggapnya pasukan ini, sementara jendral yang mengenalkan diri sebagai Jendral Seasta bicara, “aku meninggalkan tiga ratus orang sebagai penjaga barak, Marsekal Tritos. Aku tak mau ada keributan selagi kita berangkat berperang. Kereta pasok akan tertinggal jauh, tapi kau memang minta kami untuk bergerak cepat.”

“Bagus. Pesananku?”

Seasta menggeleng, masih tak habis pikir atas surat perintah yang ditunjukkan oleh Tritos padanya, perkamen tersebut memerintahkan seluruh legiun dari dua pertiga wilayah Gaedrin terdahulu untuk tunduk pada perintah dari Tritos Vaelesi. Bahkan, dia mendapat jabatan baru atas ini, karena berdiri di atas para Jendral, yaitu seorang Marsekal.

"Pesanan anda ada di kandang. Empat kuda-kuda Gaedrin, seperti yang anda minta.”

Tritos menepuk pundak si jendral. Ia menjengit kaget karena hal itu. “aku harap sedikit interaksi ini tidak kau masukkan ke dalam hati. Kalau Adis serius, dia pasti sudah mematahkan tanganmu.”

Ia kelihatan masih saja tersinggung karena Adis mempermainkannya. Tapi hanya sejauh itu Tritos bisa memberikan kepeduliannya. Ia pergi ke kandang, diikuti oleh Wei, Ying, dan Adis. Mereka akan menunggang sampai kelam menjemput hari, pergi ke Tanah Lapang Erbar sendiri untuk mendahului para legiun yang berjalan kaki.

--

Ini hari ketiga mereka menunggang. Tritos ingin secepatnya tiba di tanah lapang. Pakaian musim dingin yang dipakainya terasa panas, tapi Tritos menyangka bahwa ia tak akan mengeluh ketika malam telah datang. ia menarik kekang kudanya kala melihat pertigaan jalan, menghentikan langkah si hewan. Kuda itu mendengus-dengus kala Tritos berpaling pada kawan-kawannya.

“Kita berkemah di sini. Malam sudah dekat.”

Ketiganya mengangguk, segera turun dari pelana masing-masing untuk mencari tempat menambatkan ikatan para kuda.

“Ada waktu untuk sedikit mengobrol, Kapten?” Adis bertanya, sementara Wei dan Ying pergi untuk mencari kayu bakar. Sulit untuk mendapatkan kayu yang cukup kering di bulan-bulan seperti ini, tapi ketimbang kedinginan pada malam hari, lebih baik kelelahan untuk mencari bahan bakar bagi api.

“Ya,” Tritos mengangguk, bertanya-tanya apa kiranya yang kali ini dipikirkan olehnya. Adis memilih untuk duduk di bawah sebuah pohon, bersandar di batang mati, tanpa sadar sudah meraih daun kering yang jatuh sembari merobek-robeknya. Tritos duduk di sampingnya.

“Saya ingin berkunjung ke Kaki Menara Timur,” ucap Adis mendadak, setelah diam yang cukup lama, hanya diiringi oleh desau angin serta dengus para kuda Gaedrin yang sedang merumput.

“Mengunjungi keluargamu?” Tritos bertanya walau sudah tahu jawabannya. Tritos tahu Adis memiliki seorang adik yang tinggal di Kaki Menara Timur. Bersuamikan orang Romana, Tritos menambahkan dalam hati dengan tak senang. Masih saja ia membenci meski telah membantu Gal mendapatkan posisinya sekarang. Meski pernah berjuang bersama dengan berbagai orang Romana, entah bangsawan atau kelas biasa. Kebencian sejak bertahun-tahun lalu itu sepertinya memang telah mendarah daging dalam dirinya, menjadi bagian hidupnya. Dia tak bisa membantah bahwa pertumpahan darah telah memutar pandangan hidupnya ke arah yang buruk, walau ia berharap di masa depan nanti semua orang tidak begitu.

Adis mengangguk. Kemudian menghela napas, mendongak untuk menatap langit yang kelam. Ia seperti sedang menahan rasa sakit kala berkata, “ada lagi yang harus saya katakan.”

Lihat selengkapnya