Miles Gloriosus

Saktiwijayarahman
Chapter #41

40. Mors

Adis berpamitan saat pagi menjelang. Ia memberikan senyum pada Tritos dan entah mengapa sekarang perutnya serasa mengencang tiap kali Adis melakukan hal itu. Hal yang cukup merepotkan, terutama karena Adis adalah orang paling ceria yang pernah dikenalnya: Tritos hampir bisa selalu menemukannya tersenyum saat memandangnya, yang berarti gejolak ini hampir terjadi setiap saat.

“Cepat kembali,” Tritos berkata sembari berpura-pura memeriksa kekencangan pelana tungganggan Adis, “dan hati-hati.”

“Tentu,” kata Adis dengan tawa, tangannya memegang tangan Tritos lebih lama daripada yang seharusnya. Ia melepas pegangannya dengan enggan, kemudian mengangguk sekali sebelum segera memacu tunggangannya, pergi menghilang dalam kabut yang masih belum mau kalah oleh pagi hari.

“Kita berangkat, Kapten?” Wei bertanya sementara Ying masih membereskan kantung tidurnya. Ia mengelus-elus bagian pundaknya sembari menggumam. “Seberapa jauh lagi kita harus menunggang? Jujur saja, punggung saya sudah kacau sejak kemarin.”

Tritos terkekeh. “Tak lama, Kawan. Mungkin setengah hari lagi.” Tritos menarik bendera Gaedrin dari kantung di tasnya. Disulam dengan baik, walau kini warnanya agak pudar. Seekor babi hutan hitam berlatar warna hijau gelap.

“darimana anda mendapatkan benda itu? Itu … astaga. Bendera Gaedrin?” Wei bertanya dengan nada tertarik, serta takjub. Terang saja, karena ia tak pernah melihat bendera seperti ini sebelumnya.

Tritos membalas dengan senyum tipis. “Ternyata tukang jahit itu sama membangkangnya sepertiku. Pantas, usianya tak jauh denganku. Ia menyimpan bendera ini di lotengnya, lolos dari pemeriksaan para legiun. Sudah sepuluh tahun lebih lambang ini dilarang muncul di Gaedrin sendiri, Wei. Hari ini, kita akan melanggar aturan itu, dan aku ingin kau yang membawakan bendera ini untukku. Kau orang yang cepat berpikir, kau paham apa artinya: ini bukan soal benderanya, melainkan soal kehadiran apa yang diwakilkan oleh bendera itu sendiri. Punggungmu masih bisa menopang beban ini, bukan? Atau ini terlalu berat untukmu, tanggung jawab dan segalanya itu? Apa perlu aku meminta Ying untuk ….”

Wei langsung meluruskan punggungnya. Ia mengangguk mantap. “Siapa yang bilang kalau punggung saya sakit? Saya bersedia, Kapten! Sebuah kehormatan! Benar-benar sebuah kehormatan!”

Tritos tertawa sembari menyerahkan benda itu padanya.

--

Begitu Tritos melintasi pemukiman, mata-mata tertuju kearahnya. Bukan tepat kearahnya, melainkan pada Wei. Mereka berbisik, beberapa menyangkal, namun yang paling bisa Tritos rasakan: pandangan-pandangan cerah. Ia berhenti tepat di tengah-tengah pusat desa, tempat di mana penduduknya mengambil air dari sumur. Kudanya berhenti tepat di depan seorang wanita yang menjerit terkejut, ember kayunya jatuh berdentang. Tritos segera turun dari kudanya, diikuti oleh dua pengawalnya itu. Berhubung Tritos tahu bahwa di pojok Gaedrin seperti ini hal yang paling menarik yang bisa terjadi adalah pertengkaran dua orang tetangga, penduduk desa bergegas mendekat padanya dengan pandang bertanya-tanya. Seorang tua yang memakai kayu penopanglah yang menarik perhatian Tritos.

“Anda tetua daerah ini?”

“Ya,” orang itu menjawab tanpa ragu. Matanya melirik sosok Wei, kemudian berkata, “seumur hidupku, aku tak pernah punya ratusan pertanyaan seperti di kepalaku sekarang.”

“Tanyakan, Teman. Kami punya waktu untuk menjawabnya.”

Pria itu menunjuk dengan tongkat berjalannya tanpa sungkan pada Wei. “Dia orang Timur Jauh?”

“Ya.”

“Membawa bendera Gaedrin?”

“Aku tak tahu matamu serabun itu. tapi … ya. Jawabannya ya.”

Tetua itu mengabaikan gurauan Tritos, dan menatapnya tajam. Tritos membalas tatapannya tanpa ragu. “Apa kau pemberontak? Hal terakhir yang kami inginkan adalah sepasukan legiun mengamuk dan menjarah akibat selembar kain.”

“Ya.” Gumaman merambat cepat, namun Tritos berkata keras untuk mengungguli keramaian. “Dan tidak.”

“Aku tak paham, orang asing! Jelaskan!” Seseorang dari kerumunan berseru.

“Gaedrin akan merdeka,” Tritos berkata keras-keras, dan teriakan itu bergema ke delapan penjuru saat didengungkan ulang oleh siapapun yang berhasil mendengarnya.

Lihat selengkapnya