Telah dua hari berlalu, Tritos masih tetap berkabung atas kepergian kawan terbaiknya. Ia sering melamun, pergi seorang diri di waktu senggangnya ke pohon puja terdekar untuk merasakan keheningannya. Seperti dulu di masa muda, saat dulu ia menyendiri untuk mematikan amarah, kini ia menggunakannya untuk menenggelamkan kesedihan. Betapa semua bisa berubah seiring dengan waktu bergulir.
Ia kini berada di dalam tenda, sendirian, memikirkan tentang kematian, ketika seorang legiun masuk. Mata-mata, menilik dari pakaian kulitnya, berguna untuk bergerak cepat karena zirah hanya akan jadi beban. Ia nampak gugup. Si mata-mata menghormat sebelum menyampaikan pesan. “Mo-Monoria sedang di tengah jalan menuju ke sini, Marsekal. Gerombolan yang cukup besar, perkiraan kami jumlahnya antara empat atau lima ribu. Sepertinya mereka tahu tentang adanya pengumpulan pasukan sehingga bereaksi. Mereka bergerak cepat, mungkin akan sampai esok hari atau lusa.”
Tritos menghela napas dalam-dalam sembari memejamkan mata. “Lima ribu, demi tujuh lapis langit. Apa yang terjadi dengan pengepungan dari Triumph?”
Argon masuk, masih sepongah hari-hari lalu. Tentu Tritos tak bersungguh-sungguh saat berkata akan menarik wewenangnya dari legiun. Meski begitu, Tritos tetap memberi petunjuk bahwa ia bisa melakukan hal itu kalau benar-benar mau. Argon nampak tak takut sekarang, seolah ucapan Tritos hanya numpang lewat dan tak berarti. Tanpa basa-basi ia berucap, “mereka mungkin telah mendengar tentang itu, Marsekal. Jadi mereka memutuskan untuk mundur dan menghantam kita terlebih dahulu sebelum memukul Triumph kembali.”
Mata-mata itu mengangguk sekali. “Perintah anda, Marsekal?”
“Panggilkan kedua pengawalku beserta para pemimpin pasukan. Gelar meja rundingan. Malam ini kita tak akan mendapatkan tidur, sepertinya. Aku juga ingin menjelaskan … beberapa hal yang mungkin bisa disebut strategi.”
--
Hari ini adalah hari ketika Monoria datang.
Tanah lapang Erbar sendiri diapit oleh dua buah hutan. Tak terlalu banyak pohonnya, sehingga Tritos tak bisa menyembunyikan pasukan di sana.
Pada saat-saat terakhir Tritos menghitung sukarelawan lagi yang datang hari-hari ini. Hanya tiga ratus, membuat keseluruhan pasukannya menjadi sepuluh ribu orang termasuk ketiga legiun serta auksilianya.
Jumlahnya dua kali lipat, jauh dari jumlah ideal untuk mengatasi Monoria. Maka, Tritos terpaksa menggunakan barisan standar legiun, sekaligus menempatkan para auksilia yang menggunakan ketapel serta beberapa pemanah di salah satu bukit di belakang barisan sisi kanan.
Tritos kali ini berada di bukit juga, bersama Argon, Ying beserta Wei. Dua jendral lainnya mengawasi para legiun yang berdiri bersisian satu sama lain dalam barisan melengkung mirip sebuah busur.
“Lima ribu,” Argon menggeleng lagi. ia masih tak habis pikir mengapa para Monoria menyisihkan pasukan sebanyak itu.
“Tak ingin ada yang memukul barisan belakang mereka selagi meremukkan jalan menuju Romana, kalau begitu,” Tritos menjawabnya. Para Monoria telah berdatangan, berbaris rapi dengan keteraturan yang bahkan mengalahkan para legiun. Mereka tak terburu-buru, tahu benar bahwa legiun tak akan menyerang sekarang. Senjata Monoria hidup ini berbahankan kayu, berbeda dengan Monoria mayat yang diubah menjadi Legiun Hitam. Jenis pedang, tombak, maupun anak panah.
Namun, kalau meremehkan mereka karena hal itu sama saja bodoh. Tritos tahu kayusihir dapat memotong sekerat besi tebal kalau pemegangnya benar-benar kuat mengayun. Anak panah mereka pun dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tak menyenangkan termasuk racun dan dapat membara tanpa dibakar.
“Jika barisan tengah terpotong tamat riwayat kita, Marsekal.”
Tritos tahu benar hal itu, tapi ia menutup mulutnya untuk saat ini. Ia mengangkat tangan, tanda bagi Ying dan Wei untuk ikut masuk ke barisan penyerang jarak jauh. Sihir mereka memang akan habis termakan jarak, tapi Tritos sangat kekurangan orang sekarang. Sihir jauh lebih baik daripada tidak sama sekali.
Barisan Monoria yang sebelumnya sediam pohon bergerak tanpa peringatan. Langkah tergesa, kemudian lari dengan kecepatan penuh yang menakutkan. Para ahli busur Monoria melepas anak panah sembari berlari seolah urusan panah-memanah sambil membidik hanya acara anak kecil belaka. Tritos bisa mendengar teriakan dari salah satu jendralnya, disusul bunyi pin, dan perisai besar para legiun pun ditegakkan untuk melindungi badan mereka. Meski begitu beberapa anak panah berhasil lolos, menusuk kaki atau paha.
“Waktunya membalas, Marsekal.” Seseorang bersuara, namun Tritos belum mempedulikannya. Meski matanya rabun, ia masih bisa mengira-ngira jarak aman ketapel. Serangan itu tak akan berguna kalau jarak mereka terlalu jauh.
Para Monoria terus melangkah, sementara Tritos menahan lengannya. Dalam hitungan tiga … dua … satu …