Ying memacu kudanya. Lebih cepat, lebih cepat.
Rasa sakit menghantuinya. Meski ia telah dijamin tak akan disakiti lagi, sebagai "balas budi" dari Gallius, ditambah sekantong emas beserta kuda yang bagus, ia tetap akan membenci pemuda itu selama hidupnya. Wei kini telah tiada dan tak ada satu hal pun di dunia yang bisa memperbaiki hal itu.
Seharusnya Ying tetap menjaga Tritos, mengikutinya sampai akhir hayat, kalau perlu ia akan ikut mengulang berbagai pemberontakan lagi dan lagi, tapi ia sudah tak kuat. Lagipula, Ying juga tak tahu Tritos dimana. Ia sempat mendengar tentang Mistar, kawan lama Tritos yang disalib hidup-hidup, kedua tangannya dipaku ke kedua sisi kayu hingga darah habis dari tubuhnya. Tapi tentang Tritos, ia sama sekali tak mengetahui.
Hatinya pedih kala membayangkan dalam hati bahwa ia akan kembali ke Burazhong sebagai seorang pelanggar-sumpah. Mulutnya serasa asam akibat pikiran itu, perutnya bergolak.
Ying memacu kudanya sekali lagi, berusaha menyingkirkan ingatan-ingatan jahat itu sementara, membuat hewan itu mendengus keras. Menuju pelabuhan, tak akan kembali ke Gaedrin meski diganjar segunung emas sekalipun.
Meninggalkan kenangan tentang Wei dan semuanya.
Begitu ia sampai di pelabuhan, ia langsung menjual kudanya ke kandang terdekat, milik seorang Romana yang tak hentinya bicara, mengeluhkan tentang mata kudanya yang buta sebelah atau otot kakinya yang mengalami kecacatan. Ying tahu semua hal buruk tersebut tak ada di kudanya, semata hanya karangan si pria Romana. Ia benar-benar rugi banyak, tapi ia tetap ambil penawaran itu. Ying hanya butuh pergi dari benua terkutuk ini secepat yang ia bisa.
Ying mengamati berbagai pojok tempat kapal ditambatkan. Matanya tertarik pada sebuah kapal yang ujung depannya diukir kepala naga. Ying segera bertanya-tanya tentang milik siapakah kapal layar itu.
Kapal itu bernama Dingsan. Diketuai oleh seorang dari Burazhong, dari wilayah pantai. Ying langsung percaya padanya, membayarkan beberapa keping emas sebagai uang muka. Si pemilik kapal bersimpati kepada Ying. Seorang perempuan, apalagi berkelana sendirian. Ia nampak lebih cemas lagi, terutama karena Ying muntah-muntah di sisi kapal tepat setelah memberikan uangnya, langsung ke laut.
“Tenangkan dirimu, Nyonya.” Si pemilik kapal berucap. Kedua tangannya tumpang tindih di depan dada, gerakan yang selama ini sangat jarang Ying lihat.
“Aku paham betul bahwa lautan akan membuatmu mengalami berbagai rasa sakit jika kau belum terbiasa. Mual, atau demam jika di tengah-tengah samudra. Duduklah, atau anda mau rebahan di lambung kapal? Aku mungkin bisa menyuruh beberapa anak buahku menyingkir kalau itu membuat anda tak nyaman.” Ia berhenti sejenak, kemudian mengawasi pedang yang tersarung di punggung si perempuan. “Mereka akan menghormati tempat pribadi anda selama anda memegang senjata itu. tak ada yang berani macam-macam dengan seorang pendekar kelana, bahkan di Gaedrin sekalipun.”