Tritos diikat, dibungkam mulutnya, dan dirantai kakinya. Ia dilempar begitu saja ke bagian belakang pedati seolah-olah hasil panen yang murah harganya. Matanya yang terbiasa berada dalam kegelapan mengerjap-ngerjap, menyesuaikan diri dengan cahaya mentari.
Tubuh Tritos sangat lemah, setiap pergerakan juga membuat badannya sakit. Ia hanya mendapat makanan roti yang hampir busuk serta air kotor yang datang ke selnya. Ia sudah tak menghitung hari lagi.
Sangat cerah, dingin masih tinggal, agak menusuk tulang. Mungkin saja sekarang awal musim semi, burung-burung yang bercericit riang dan melompat dari satu pohon ke pohon lain seolah mengejeknya.
Mengejek ia yang tua dan sekarat sementara mereka sehat dan kuat.
Pedati bergerak, kuda dipecut, meninggalkan penjara tempat Tritos disekap. Pedati terus menggelinding, melewati rumah-rumah, penduduknya riang dalam cerahnya pagi, seolah tak pernah ada perang yang mengganggu mereka dan tak akan pernah.
Roda terus berputar. Tritos tak tahu akan dibawa ke mana. Sejenak ia mengira akan dibawa menuju tiang gantungan, dan ia akan sangat senang menyambut hal itu. harapan baginya kini cuma omong kosong.
Tapi roda terus menjauhi padang tempat berbagai tiang salib diberdirikan. Tritos menangkap masih ada beberapa sosok di sana. Hatinya mencelos saat melihat rambut emas yang serasa dikenalnya.
Sejenak, kemudian hilang tertutup pepohonan.
Pedati terus meluncur seolah tak pernah kenal berhenti, seolah ikut merayakan musim yang baru datang, mentari yang terik, keceriaan yang tiada habis.
Hanya hati Tritos yang hancur meregang pedih. Kekang ditarik dan kuda-kuda meringkik, mengangkat kaki untuk berhenti. Mereka sekarang berada di tengah-tengah hutan yang sepi, jalan semakin sulit dilalui oleh pedati. Kedua legiun yang berada di depan bertukar pandang.
“Di sini?” tanya legiun yang cukup gemuk.
“Terserah,” legiun satunya yang jauh lebih kurus menggumam.
“Baiklah. Kita tak dibayar banyak untuk mengantarkannya ke ujung dunia.”
Mereka berdua meloncat turun untuk menurunkan Tritos juga. Si kurus mau naik pedati lagi kala si gemuk menjawilnya.
“Apa?”
“Dia sangat kurus.”
“Matamu buta? Aku bahkan lebih kurus darinya."
“Maksudku dia belum makan, kawan.”
“Kau kasihan pada seorang asing?” si kurus mencemooh, tapi ia mengambil sebantal roti dan kantong air dari bagian depan, kemudian menggelar alas kain untuk menempatkan keduanya di atas tanah. “Seperti yang dibilang Kapten, kau memang terlalu lembut untuk jadi seorang legiun. Tapi sudahlah. Oh, ya. Jangan lupa, potong ini semua dari uang makanmu, bukan uangku.”
Si gemuk mengiyakan dengan tak sabaran. Ia sudah melepas ikatan kaki dan tangan Tritos, lalu bekap dimulutnya.
“Terima kasih,” Tritos berucap serak, sudah lama tak berkata-kata. Entah kenapa percakapan dua orang ini lebih menyayat-nyayat perasaannya ketimbang musim yang nampaknya menghina dirinya.
“Sama-sama,” kata si gemuk sembari mengangkat bahu. Si kurus ganti menjawilnya untuk mengingatkannya atas tujuan semula. Si gemuk mengerling Tritos sekali kemudian mengangguk. Mereka berdua kembali ke atas pedati. Si gemuk berpikir-pikir sebentar, sebelum akhirnya melempar pisau dapur ke depan kaki Tritos.
“Untuk menjaga diri. Semoga kau tak mengulang kesalahan yang membuatmu dipenjara. kau bebas sekarang, tahanan. Siapapun yang membeli kebebasanmu pasti benar-benar orang yang baik hingga ia tidak mau memasukkan namanya. Seorang yang baik dan tak bernama, heh, itu hal yang bagus. Pergunakan waktu yang kau miliki dengan ….” Si kurus memacu kendaraannya sebelum si gemuk bisa mengobrol lebih jauh. Mereka pergi, hanya meninggalkan debu bergulung-gulung dan keinginan Tritos untuk menertawai si gemuk yang, bisa dilihatnya walau cuma bicara sebentar, terlalu cerah dalam memandang kehidupan yang busuk ini.
Ia sangat ingin berteman dengan si gemuk itu.
Tritos langsung menyantap hidangan didepannya, mengiris roti dengan pisau cepat-cepat sebelum terpikir akan racun, teringat akan Quintilia dan kejahatannya. Ia mengendus rotinya seperti seekor binatang yang curiga. Baunya biasa saja. Ia mengendus airnya seperti binatang yang curiga. Juga biasa.
Setelah dipikir-pikir, persetan. Kalau ia mati, ia mau mati dalam keadaan kenyang. Ia terus makan dan minum sampai puas, sementara matahari terus merayap naik.
Tritos menghabiskan makanannya kala mentari tepat berada di puncak kepala. Ia baru melangkah, sudah memikirkan pembalasan kala ia melihat tanda yang dikenalinya.
Tritos memegang gambar samar di pohon itu. Itu huruf druidik. Ia mengerling sekitar, dan memang benar. Banyak pohon yang diam-diam diukir dengan nama yang tak ia tahu artinya itu. Pasti ada seorang pertapa atau bisa saja malah seorang Ainsar yang tinggal di kedalaman hutan ini.
Tritos mengayun langkahnya. Semangat membiusnya hingga ia lupa segala. Ia terus melangkah. Menembus semak berduri, tak peduli kakinya yang telanjang terkena lumpur dan ia terpeleset berulangkali.
“Berhenti di situ!” sebuah suara besar menggema di dalam hutan. Tritos menengok ke kanan-kiri.