"Dan, minggu depan aku mau ke desa, ketemu sama orang tuaku," kata Mila, membuka percakapan di tengah sore yang tenang di sebuah kafe kecil. Ia menatap Dani yang sedang menyeruput kopinya, menunggu reaksi dari laki-laki itu.
Dani tersenyum, meletakkan cangkirnya ke atas meja. "Oh ya? Seru dong, sekalian refreshing. Desa kamu kayak gimana?"
Mila tersenyum lembut, membayangkan desa kecil tempat ia tumbuh besar. "Tenang banget, nggak banyak yang berubah dari dulu. Udara sejuk, sawah di mana-mana, pokoknya jauh dari hiruk-pikuk kota. Aku rasa kamu bakal suka."
Dani mengangguk, merasa antusias mendengar cerita Mila. "Kedengarannya menarik. Terus... kamu ngajak aku ke sana, atau cuma cerita aja?"
Mila tertawa kecil, memainkan sendok di cangkirnya. "Aku beneran mau ngajak kamu, sekalian kenalin ke orang tuaku. Gimana? Siap?"
Dani mendadak terdiam, sedikit terkejut dengan undangan itu. Memperkenalkan diri ke orang tua Mila? Itu langkah besar. Meskipun hubungan mereka sudah semakin dekat selama beberapa bulan terakhir, Dani belum pernah benar-benar memikirkan momen perkenalan resmi seperti ini.
"Wah, udah sejauh ini ya kita? Haha... Aku sih siap-siap aja," jawab Dani, sedikit bercanda tapi dengan nada serius. "Orang tua kamu kayak gimana? Aku harus siapin mental nih?"
Mila tertawa mendengar respons Dani. "Nggak perlu tegang. Mereka orangnya santai kok, apalagi kalau tahu aku sama kamu. Aku yakin mereka bakal suka."
Dani tersenyum, meskipun hatinya sedikit berdebar. Perkenalan dengan orang tua pacar selalu membawa tekanan tersendiri. Tapi ia tahu, jika itu untuk Mila, ia siap menghadapi apa pun.
Beberapa hari kemudian, pagi yang cerah di hari Minggu, Mila dan Dani berkendara menuju desa tempat orang tua Mila tinggal. Mila tampak ceria, bercerita banyak sepanjang perjalanan. "Aku udah lama nggak pulang, biasanya aku cuma telepon. Kali ini spesial, karena ada kamu."
Dani hanya tersenyum, sesekali melirik Mila yang tampak begitu antusias. Perjalanan berlangsung lancar, melewati jalanan berliku dengan pemandangan hijau di kiri dan kanan. Dani menikmati suasana yang jauh dari kebisingan kota. Mereka berhenti sejenak di sebuah bukit kecil, di mana dari kejauhan terlihat hamparan sawah yang luas dan pepohonan rindang.
“Ini indah banget, Mil,” kata Dani sambil menghirup udara segar. “Pantesan kamu pingin banget balik ke sini.”
Mila mengangguk. "Iya, di sini tuh seperti tempat pelarian yang sempurna. Kapan pun aku merasa jenuh, aku pasti balik ke sini."
Setelah beberapa jam, akhirnya mereka tiba di depan rumah sederhana di desa itu. Orang tua Mila sudah menunggu di teras. Ibunya, seorang wanita paruh baya dengan senyum hangat, langsung menyambut mereka dengan ramah.
“Mila, kamu akhirnya pulang juga! Ibu kangen!” seru Ibunya sambil memeluk Mila erat. Sang ayah juga berdiri di samping, tersenyum lebar.
Mila tersenyum lebar dan membalas pelukan ibunya. "Ibu, Bapak, kenalin, ini Dani," katanya sambil melirik ke arah Dani yang berdiri sedikit kaku di sampingnya.
Dani tersenyum malu, lalu mengulurkan tangan untuk berjabat dengan ayah Mila. "Selamat siang, Pak. Ibu," sapanya dengan sopan.
Ayah Mila menerima uluran tangan Dani dengan erat. "Selamat datang, Dani. Wah, Mila jarang bawa temannya pulang. Kali ini spesial, ya?"
Mila menunduk, tersipu. "Iya, Pak. Dani teman dekatku."
Ibunya tertawa kecil. "Oh, jadi ini yang sering kamu ceritain di telepon? Ayo masuk, kalian pasti capek perjalanan jauh."
Dani dan Mila pun masuk ke dalam rumah. Suasana rumah yang hangat dan tenang membuat Dani merasa nyaman, meskipun ia masih sedikit canggung. Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana tapi bersih, dengan jendela besar yang menghadap langsung ke kebun belakang rumah. Sementara Mila dan ibunya mengobrol di dapur, Ayah Mila mulai berbincang dengan Dani.
“Kamu kerja di bidang seni juga, Dani?” tanya Ayahnya sambil menyeduh teh.
Dani mengangguk. “Iya, Pak. Saya banyak terlibat di pameran dan instalasi seni. Tapi masih belajar banyak dari Mila, sih. Dia yang lebih berbakat.”
Ayah Mila tersenyum sambil menyerahkan secangkir teh kepada Dani. “Bagus kalau kalian saling mendukung. Seni itu butuh ketekunan dan cinta. Kamu kelihatannya serius sama Mila, ya?”
Dani tersedak sedikit mendengar pertanyaan itu, tapi segera tersenyum. “Saya serius, Pak. Mila orang yang spesial, saya merasa beruntung bisa mengenal dia.”
Mendengar jawaban itu, Ayah Mila tertawa pelan, merasa puas. “Bagus, bagus. Ayah cuma ingin anak Ayah bahagia. Selama dia bahagia, Ayah akan selalu mendukung.”
Sementara itu, di dapur, Mila berbicara pelan dengan ibunya. “Bu, gimana? Dani orangnya baik kan?”