Mimosa Pudica

Kirana Putri Vebrianti
Chapter #2

Coffe latte

Sudah biasa bila kamu harus mendengarkan aku sedang menyeduh kopi di pagi hari. Sudah menjadi rutinitas hari hariku untuk memberi se cup coffe latte kesukaan Reno, bila tidak dia akan bertanya "mana nyawa pagi hariku?". Entah mulai dari kapan aku suka tentang kopi, semua orang memujiku karna kopi buatan ku sungguh sangat nikmat dan hangat menempel pada rasa lidah siapapun. Setiap pagi 2 cup coffe siap ku sajikan, satu untuk mama yang ku taruh dia atas meja makan. Dan satu untuk Reno yang ku bawa lalu kuberikan saat ia datang menjemputku pergi sekolah. Hari ini Aku berangkat pagi sekali hanya untuk mengambil buku di perpustakaan, karna buku bacaan ku sudah habis ku baca sore itu sambil melihat dia yang sedang berlari-lari. Aku berangkat bersamanya, seperti halnya hari hari lalu. Sama sama untuk mengambil satu buku edukasi yang akan kami baca dirumah. Dia membonceng ku dengan motor hasil kerja kerasnya walaupun hanya motor butut yang sering mogok setidaknya itu hasil usahanya sendiri dan aku menghargainya, dia tak ingin menjadi anak yang terpandang kaya karena menurut kami kaya bukanlah hal yang kita miliki, itu hanya milik kedua orang tua kami.

Walau motor reno sering mogok, namun disitulah kenangan terbuat waktu demi waktu. Selalu ada detik yang mengesankan dalam kesialan kami. Itupun menjadi alasan kami berangkat pagi sekali, kami tak berani melanggar suatu peraturan sekolah. Sambil menikmati seduhan coffe latte buatan ku Reno membaca bait demi bait satu novel yang baru ia temukan di rak perpustakaan sekolah kami. Kurasa pada pandangan pertamanya Reno langsung jaruh cinta pada novel yang ia baca. Begenre romance, aku bingung tak biasanya dia mau membaca novel begenre itu. Satuhuku dia tak ingin tau tentang kisah cinta remaja, namun kita sudah besar mungkin akan ada perubahan dalam setiap pandangan hidup juga sisi mata melihat.

Berhembus angin lewat jendela sebelah tempat kami duduk di perpustakaan, seperti mengusap rambut Reno yang sedang keasikan membaca sampai lupa ada hal yang harus ia cari selain buku itu. Namun aku pun sama sebaliknya, aku terlalu larut memandangi wajah Reno yang terhias angin sepoi-sepoi dengan wajah tampan seperti pangeran yang datang menghiasi malam tanpa perlu berangan-angan, selalu datang disaat tubuh mulai merasa tak nyaman dengan suatu hal yang tak aman. Dalam hati hanya berkata suatu hari kita akan sama-sama mengatakan mari pulang ke rumah. Aku sesegera mungkin menyadarkan diriku yang terlalu larut dalam keadaan, dan mengingatkan Reno untuk segera menyelesaikan atau memilih membawa pulang novel yang ia baca. Sementara itu aku langsung beranjak pergi mencari buku edukasi untuk persiapan kami menghadapi olimpiade esok nanti. Siapa tau mungkin nasib kita sama seperti hari lalu, terpilih berdua mewakili sekolah. Entah mengapa takdir menginginkan kami selalu bersama dalam menghadapi rintangan suatu cita-cita.

Lihat selengkapnya