Pagi ini langit mendung tak seperti biasanya, mungkin langit sedang sedih. Atau mengisyarat kan rasa lara uang akan ku alami hari ini.
aku berangkat dengan membawa coffe latte untuk Reno. Karna hari ini dia tidak bisa menjemputku kerumah dengan alasan dia berangkat lebih pagi dari biasanya, karna ada buku yang tertinggal di kelas. Sungguh pagi yang tidak menyenangkan. Aku harus berangkat bersama mama kali ini. Dalam perjalanan hati terasa tak terima di perlakukan cinta yang sedikit membuat ku muak tanpa bersuara. Mama mencoba menasehati ku bila kita tak bisa memaksa seseorang untuk selalu bersama dengan kita, dia juga mempunyai pilihan. Apapun pilihannya dukung, setidaknya bila tidak menjadi pasangan kamu bisa menjadi kawan.
Kekecewaanku tak berakhir pada itu saja, setelah ku sampai ke sekolah bahkan aku tak melihat Reno dimanapun, ku coba mencarinya disudut yang biasa dia datangi namun dirinya tak kunjung ku ketahui keberadaannya. Kucoba menenangkan diri barangkali ada tempat baru untuknya menenangkan diri. Tapi bahkan amarah sudah tak tertahan lagi dada ini sesak tak bernyali ketika harus sendiri melakukan hal yang biasanya kami lakui. Sedikit lelah bila harus keluar air mata, sementara hari masih panjang untuk dilewati. Mulai menuliskan pada diary tentang kesal ku hari ini, sambil berfikir harus sampai kapan seperti ini?. Lalu kaki tiba-tiba melangkah tanpa arah hingga tiba di dekat pagar sekolah, mataku tak bisa berbohong. Aku harus melihat dia datang bersama kekasih nya yang memang sebelumnya sudah kuduga. Dia adalah Nada, dengan senyum manis dan berwibawa. Siapa yang tak suka dengannya? Setidaknya aku harus sedikit berkaca, untuk tahu seperti apa aku ini. Bisa-bisanya cemburu pada wanita sepertinya, aku harus menunduk menahan lara dan malu. Dalam hatiku bertanya, mengapa harus bohong bila akhirnya aku tau kebenarannya. Aku tak ingin berbicara padanya, namun aku menghampirinya sambil memberikan seduhan coffe latte yang mulai dingin setelah lama berada pada genggaman tanganku, ku berikan sambil tersenyum lalu pergi menjauh. Ini kah yang namanya lara sayatan hati yang tak berdarah? Apa ini rasanya? Sungguh aku takkan pernah menyukai perihal cinta lagi, sudah sangat cukup bagiku merasakan cinta. Aku pergi dengan bisu, tak tau mengapa bahkan air mata yang menetespun tak dapat aku rasa, karna raga ku sudah sangat mati rasa. Kini aku tak punya siapa siapa, dan aku egois hingga aku tak menoleh untuk terakhir kali.
Bahkan panggilannya tak lagi ingin ku hiraukan, raga ku serasa ingin menjauh perlahan dari sisinya. Takut bila terluka, dan biasanya ini disebut dengan kata trauma. Aku mulai pergi dari hidupnya dan memilih sementara untuk tak dekat dengan dia. Aku duduk disamping Joko kawan ku di olimpiade bersamanya, aku tak ingin merespon sapa nya padaku. Selalu pergi bila ia mendekat, saat bertemu pun tak ingin menatap. Aku pergi ke kantin bersama Joko, untuk mulai mengenal orang lain disekitar ku. Setidaknya itu membuat ku sedikit tak bergantung lagi dengannya, aku kecewa akan 2 hal darinya. Tentangnya yang berbicara bohong padaku, dan tentang raganya bukan lagi sepenuhnya bersamaku.
Sampai di rumahpun aku masih saja meneteskan air mata, lalu memilih menyeduh kopi sambil menenangkan diri dengan senja diiringi lagu fourtwenty. Berharap menghilangkan rasa egois ini, ini tak baik untuk kelanjutan hubungan kami. Aku tak berharap seperti ini akhirnya, inilah yang salah bila aku menaruh rasa inilah akibatnya. Tiba tiba dia datang untuk menghampiriku, namun aku masih saja tak menerima dirinya datang lagi padaku. Aku masuk meninggalkan secangkir kopi ku di luar, dia terus melafalkan nama ku seperti ingin mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Namun telingaku saja masih tak ingin mendengar suaranya, aku menyesali semua perbuatan yang ku lakukan. Namun ini seperti masih belum ingin berakhir.
Kuputuskan untuk berangkat sekolah menggunakan sepedah klining berwarna pink dengan kranjang di depan setir. Ku gayuh sepedah itu, dan Reno membujuk ku sepanjang jalan agar aku berhenti dan naik di motornya. Telinga ku terasa kebal mendengar bujukkannya, aku tetap menggayuh sepedah agar secepatnya sampai di sekolah, entah rasanya mulutku membisu tanpa kata. Raga ku ingin terus lari dari kenyataan yang sudah terjadi, ku tempatkan sepedah ku di parkiran khusus sepedah di sekolah. Lalu masuk dan pergi langsung ke perpus untuk mengambil beberapa buku karna olimpiade mulai ada di depan mata. Aku bertemu joko yang sedang asik belajar di dalam perpustakaan. Ku putuskan menghampirinya sambil berkata "maaf mengganggu aku ingin duduk dan belajar besama kamu". Dia tersenyum lalu mempersilahkan aku duduk, banyak pembahasan yang kami bahas kala itu. Sementara Reno? Entah dimana mungkin dia sedang sibuk dengan kehidupannya setelah mendapatkan cinta Nada. Belakangan ini aku sering menghabiskan waktu dengan Joko, mungkin karna dia juga baik dan aku merasa aman di dekatnya karna tak mungkin lagi rasanya bila Reno melindungi ku.
Hari hari kulewati dengan rasa sakit bertubi-tubi ketika tak sengaja indra penglihatanku melihat Reno bersama Nada. Sepertinya Reno juga mulai melupakan ku, sungguh ini sakit sekali. Seharusnya aku tak singgah pada hati yang tak sungguh untuk ku. Mengapa aku harus bodoh seperti ini untuk mendapatkan balasan darinya? Ini bukan dunia ku aku ingin kembali saja pada zona aman ku. Aku tak ingin lagi melanjutkan drama ini, aku sudah sangat lelah.
Olimpiade sudah tinggal 3 hari lagi, namun tak pernah aku melihat Reno mempelajari tentang edukasi lagi. Dia mulai sibuk dengan keadaannya sekarang, hingga melupakan apa yang sedang kami perjuangkan. Dia seperti tak perduli lagi dengan apa yang akan terjadi di olimpiade nanti. Apalah arti. Dari apa yang terjadi? Apakah Reno memang sudah berhenti akan berjuang bersama ku lagi seperti dulu?. Mungkin kali ini kepergian ku takkan ada artinya lagi baginya, bagimana aku bisa menerima dan kembali tersenyum kembali. Mungkin kelak akan susah untuk kita dapat bersama menjalin hubungan persahabatan seperti sebelumnya. Ya sudahlah ini juga karna rasa egois ku, mungkin memang belum waktunya untuk ku bisa kembali lagi bersama dia.
Hari demi hari berlanjut seperti biasanya, masih tentang lara dan kecewa. Esok sudah hari olimpiade nama kami kembali dipanggil untuk menghadap kepala sekolah, kami berjalan bersama dengan Joko ditengah-tengah kami. Kami saling diam berbicara ku pun hanya untuk Joko bila Joko sedang menanyakan sesuatu. Kami sampai diruang kepala sekolah, dan khusus hari ini kami di perbolehkan bebas belajar dimanapun dalam lingkup sekolah. Aku dan Joko memutuskan untuk belajar di perpustakaan, Reno mengikuti kami dan mulai belajar bersama kami. Namun saat Reno bertanya aku tak pernah menjawabnya, aku tahu dia sepertinya kesal dengan ini. Tangannya menggenggam, tanda dia sedang menahan marah. Aku tak memperdulikannya, namun suatu kejadian yang tak ku harapkan terjadi. Saat bel istirahat aku mengajak Joko ke kantin tiba tiba saat aku sampai di lorong sekolah untuk menuju kantin dia menarik tangan ku dan menggenggamnya keras sambil menanyakan apa yang terjadi padaku belakangan ini.