Bandung, Juli 2003
Dadaku bergetar hebat saat mengambil amplop hasil tes masuk sekolah impianku. Aku mencoba merogoh selembar kertas didalam amplop tersebut. Perlahan aku membuka lipatan kertas itu.
“Selamat ya nak, kamu lulus,” Seorang Ibu paruh baya tiba-tiba saja memberiku selamat. Tanpa kusadari ternyata ia mengintip disebelahku saat aku membuka lipatan kertas hasil tesku. Belum sempat kujawab ungkapan Ibu paruh baya itu, aku melihat tulisan dicetak tebal LULUS/TIDAK LULUS menandakan bahwa aku diterima di sekolah impianku. Sesaat setelah melihat tulisan tersebut, aku kembali melirik Ibu tadi, “terima kasih ya bu,” ucapku dengan menyungging senyuman.
“Dimana Ibunya nak?”
“Tidak ikut Bu, saya sendiri.”
“Hebat, berani daftar sekolah dan tes sendiri nak.”
“Alhamdulillah Bu. Bagaimana dengan anak Ibu, sudah ambil hasil tes nya?”
“Alhamdulillah, anak Ibu juga lulus nak. Dia sedang ke toilet.”
“Siapa namanya Bu?” barangkali nanti kami satu jurusan.”
“Kalia, lengkapnya Nindya Kalia Andriyani.”
“Baik kalau begitu, saya permisi pulang duluan ya Bu.”
“Silahkan nak.”
Dalam perjalanan pulang, ada rasa bahagia yang tak bisa kulukiskan. Namun juga ada rasa cemas yang tak bisa kuungkapkan. Aku memberanikan diri untuk tetap mendaftar ke sekolah impianku, ya SMK Bakti Negeri. Sekolah yang begitu diimpikan oleh ribuan siswa lulusan SMP di Jawa Barat. Persaingan untuk masuk sekolah ini memang cukup ketat, dari sekitar dua ribu orang lebih yang ikut seleksi, tapi hanya dua ratus dua puluh siswa yang diterima.
NEM adalah modalku untuk mendaftar ke SMK terbaik di kota ini, kota tempat kelahiranku Bandung. Sebelum mengikuti tes selanjutnya, tahapan awal adalah seleksi dari NEM yang di Rangking setiap hari sampai batas hari yang telah ditentukan. Aku sebenarnya bercita-cita menjadi Dokter, namun aku sadar akan kekurangan orangtuaku yang tak mungkin bisa membiayaiku untuk sekolah kedokteran. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak melanjutkan ke SMA tapi memilih SMK Teknik, Sekolah yang dikenal dengan lulusannya yang langsung di terima bekerja di Perusahaan. Aku berharap dengan sekolah disini, setelah lulus nanti bisa langsung bekerja dan melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri.
Namun aku masih bingung, antara bahagia dan sedih yang kurasakan. Aku tau pasti biaya pendaftaran masuk SMK tak akan sanggup dibayar dalam waktu dekat ini oleh Ambu¹ dan Abah². Ambu dan Abah sedang tidak punya uang. Sejak Abah kehilangan pekerjaan karena angkot miliknya terbakar, Abah kini menjadi pekerja serabutan.