Bulan terbit dari lautan.
Rambutnya yang tergerai ia kibaskan.
Dan menjelang tengah malam,
wajahnya yang bundar,
menyinari gubuk-gubuk kaum gelandangan kota Jakarta.
(W.S. Rendra)
Kampung Pulo, Akhir Juli 2010
Ayub menyaksikan kobaran api melahap apa saja yang dilaluinya. Seakan memiliki mata. Api itu memilih-milih mana saja bangunan, barang, dan orang yang ia makan. Bila bangunan, gedung, atau ruko itu terdapat tulisan pribumi si api akan melengos melewatinya begitu saja. Sekarang jilatan-jilatannya sudah makin meninggi mencari mangsa di pucuk-pucuk atas yang lantainya terkunci. Tidak peduli orang-orang di dalamnya belingsatan karena panas yang membakar kulit dan jiwa mereka. Anehnya, dalam penglihatan Ayub tubuh-tubuh yang sudah gosong itu masih memiliki mata dan berkedip kepadanya. “Tolong bini anak saya Pak! Mereka nunggu di rumah, tolong…” kedua tangan tutung itu menghamburkan bau yang menyengat hidung. Hanya sejengkal jari-jari hangus itu akan menyentuh wajahnya, Ayub tersentak dari mimpi buruknya.
“Bang… istighfar Bang istighfar. Mimpi lagi?” sang istri Rukoyah menenangkan suaminya dengan perlahan. “Aye ambilin minum ya,” ujarnya lantas beranjak dari ranjang reot mereka. Ayub masih tersengal-sengal. Singlet dan rambut gondrongnya kuyup oleh keringat. Ia masih bisa merasakan degup jantungnya yang kencang. Begitu pula tangannya yang masih bergetar serta sensasi ngeri yang menggerayangi sekujur tubuhnya. Namun, hal yang paling menakutkannya malam itu adalah bayangan tangan-tangan gosong dan wajah-wajah tutung tak bertuan yang masih jelas terpatri dalam benaknya. Ayub tak sanggup lagi untuk melanjutkan tidur.
Ketika Rukoyah datang dengan segelas air putih hangat, Ayub sudah duduk di kursi plastik di dekat kasur. Membelai dan memandangi Nasyifa anak semata wayang mereka yang baru beranjak 5 tahun. Rukoyah menyodorkan air putih itu yang langsung diteguk habis oleh suaminya. “Apa tidak sebaiknya kita berobat saja Bang?” lirih Rukoyah. Sejatinya dia tahu jawaban sang suami yang selama ini selalu menolak dengan alasan yang sama: biaya. Jikalau pun mereka memiliki duit lebih, Ayub akan berkeras supaya Rukoyah menyimpannya sebagai bekal biaya TK Nasyifa nanti. Ayub menggeleng. “Gue udah bilang gak perlu Yah. Simpen buat entar sekolah Syifa,” tegasnya. “Tapi kan…” “Gak ada tapi-tapi. Gue gak mau ini dibahas lagi. Udah… orang lagi keleyengan lu suruh ngomongin duit,” Hardik Ayub seraya meninggalkan Rukoyah yang patah hati. Lagi.
Dari sepetak kamar berukuran 3x3 itulah Ayub memutuskan untuk tak lagi berurusan dengan mimpi-mimpi mengerikannya. Serta cekcok-cekcok tak berujung dengan istrinya. Ia sadar perangainya yang jelek akan dengan senang hati menelan pancingan emosi dari topik terkait uang dan pengobatan. Sesuatu yang selalu disesalinya kemudian. Ayub mengambil jaket denim lusuhnya di atas lemari dan lantas menyingkap tirai kain yang memisahkan kamar mereka bertiga dengan sebuah ruangan lain yang berukuran serupa. Ruang tersebut adalah dapur sekaligus ruang tamu, ruang berkumpul keluarga, dan gudang tempat menyimpan peralatan jahitnya. Sebuah meja kayu cokelat menampung apapun olahan Rukoyah di sana. Ayub mencomot sebuah tempe goreng yang sudah dingin sembari berjalan menuju tangga.
Kendati sudah menempati rumah kontrakan semipermanen tersebut selama 2 tahun terakhir, Ayub tidak pernah benar-benar kerasan menempatinya. Mungkin karena ia dan keluarganya hanya mengontrak, mungkin juga karena lokasinya yang jauh lebih padat dibandingkan dengan daerah jembatan Bukit Duri dimana dulu ia tinggal; sehingga terkadang suara bising tetangga yang meracau atau bercinta bisa masuk dari celah-celah temboknya yang kusam. Entahlah. Satu hal yang pasti, semenjak pindah ke sana frekuensi mimpi buruknya semakin menjadi-jadi.