Mimpi Buruk Ayub

spacekantor
Chapter #2

Dampak Trauma Pelaku Sejarah Mei 1998

Ini adalah ritual yang biasa Hendra lakukan sebelum memasuki kelas. Dia akan menunggu seluruh mahasiswa yang mengambil kelasnya: Dasar-dasar Psikologi Sosial, untuk masuk terlebih dahulu. Setelah itu, Hendra akan berdiri percis di luar pintu. Dari kantong celananya, ia lantas mengeluarkan sebuah jam saku rakitan Bulova. Di sana, tertempel sebuah potret berwarna milik salah satu orang terkasihnya. Dan apapun raut wajah Hendra saat itu akan melunak. Alisnya yang tajam akan mengendur dan sebuah senyuman akan melengkung di bibirnya yang tipis. I made it Sis, we made it, ucapnya lirih hampir tak terdengar.

Seraya memasukan kembali jam saku berharganya ke dalam kantong celana, Hendra melangkah masuk ke dalam kelasnya dengan hati yang ringan. Sebagai dosen psikologi, dirinya tahu betul betapa pentingnya pengelolaan emosi bagi tubuh dan jiwa. “Menurut Bauer dan Baumeister, regulasi diri merupakan suatu proses penting dalam kepribadian seseorang. Ini adalah langkah krusial dalam mengendalikan perasaan, pikiran, dorongan serta hasrat dari rangsangan luar diri kita sendiri,” paparnya di muka kelas.

“Setiap orang tentu memiliki caranya sendiri untuk melakukan regulasi diri. Kalian yang pernah nonton Three Idiots pasti hafal betul dengan kata-kata afirmasi Rancho All is Well.” Beberapa mahasiswa mengangguk antusias. “Itu adalah salah satu bentuk sugesti dirinya dalam upaya regulasi diri sehingga apapun yang terjadi padanya. Dia tetap memiliki kontrol penuh pada dirinya sendiri.” “Kalau begitu mengapa banyak orang kadang termasuk saya tidak bisa mengontrol emosi ketika ada faktor yang provokasi ya Pak?” tanya salah seorang mahasiswinya yang berjilbab ungu.

“Banyak faktor. Salah satunya karena kebiasaan. Dalam konteks psikologi sosial interaksi manusia dalam lingkungan sosial atau komunitasnya entah keluarga, lingkungan, atau geng misalnya. Itu akan turut memengaruhi serta membentuk perilakunya dalam merespon suatu emosi.” Hendra menggantungkan kata-katanya di sana. Ia menatap mahasiswi itu dengan sorot mata bertanya, bisa dipahami? Lantas melanjutkan sembari menyapukan pandangan ke seluruh mahasiswa di kelas.

“Contoh, ketika kecil Kamu jatuh dan orang tua menyalahkan tembok atau lantai yang membuatmu terjatuh. Jika itu terus dilakukan, bukan tidak mungkin Kamu akan tumbuh menjadi sosok yang selalu menyalahkan,” terangnya. “Ada yang bisa memberikan contoh lain? Ya Dre gimana?” seorang mahasiswa di pojok mengangkat tangannya. “PSK Pak?!” beberapa teman di sampingnya mesem-mesem. “Ada apa dengan PSK?” timpal Hendra tersenyum. “Iya saya kenal beberapa dari mereka…” belum sempat mahasiswa bernama Andre itu menyelesaikan perkataannya, seluruh bagian kelas mendadak riuh.

Inilah salah satu hal mengapa kelas Hendra selalu menyenangkan bagi para mahasiswa. Suasana diskusi yang hangat dengan topik diskusi menarik yang seringkali memantik rasa keingintahuan mereka. Jauh dari kesan metode pengajaran kolot dimana mahasiswa hanya duduk mendengarkan dan dijejali teori-teori teks membosankan. Hendra bahkan mendapat “label” dari para mahasiswa sebagi dosik alias dosen asyik. Namun, Hendra segera menguasai kembali situasi kelas dan mempersilakan Andre melanjutkan.

“Iya saya kenal karena pas dulu SMA pernah ikut Lomba Karya Ilmiah Remaja Pak. Dan narsum saya ibu-ibu PSK di Kalijodo.” Kali ini ekspresi teman-teman sekelasnya berubah. Mereka memasang mimik serius bercampur kagum. Kegiatan jarang bagi anak SMA di Jakarta yang lebih memilih mewawancara PSK daripada berkeliling di mall atau nongkrong di kafetaria. Andre merasakan tatapan takjub kawan-kawannya itu. “Nah, mereka bilang melacur sudah mandarah daging Pak. Mereka takut dan merasa terasing karena masyarakat sulit menerima dan mempekerjakan bekas pelacur.” Suasana kelas mendadak senyap.

Selayaknya dosen yang sudah memakan asam garam dunia akademis. Hendra menunjukan ketenangannya dalam mengelola suasana kelas. Ia berjalan ke arah jendela dan membuka salah satu daunnya. Ia membiarkan udara segar di sekitar taman memasuki kelas yang mulai hangat karena diskusi. Sambil bersandar di meja muka kelas, ia menggulung lengan kemeja birunya seraya tersenyum. “Seks adalah salah satu perwujudan emosi. Apa yang Kamu sampaikan betul Dre. Dan dalam konteks psikologi sosial tentu kita juga harus membedah apa yang terjadi di sekitarnya.” Kini perhatian mahasiswa benar-benar tertuju pada perkataan Hendra, tak peduli bahkan segerombolan kelas lain riuh rendah melewati depan kelas mereka.

“Tidak salah jika orang bilang kemiskinan adalah sumber utama prostitusi tapi kita sering lupa kalau geisha yang kita tonton film-filmnya itu justru menempatkan seorang wanita tunasusila sebagai posisi terhormat. Bahkan kalau saya tidak salah sekitar 1820 pada masa pembangunan jalan Anyer-Panarukan. Pelacuran pernah berada pada masa kejayaan. Sampai ada peninggalan komplek pelacurannya di sekitaran stasiun kereta api.” Hendra kemudian menyalakan proyektor kelas dan menampilkan pelbagai salindia materi dasar psikologi sosial. “Obrolan kita barusan sudah mengantarkan kita pada bahasan pokok tentang materi hari ini,” ungkapnya puas.

Ketika sore sudah menjelang, kelas terakhirnya hari itu sudah selesai sekitar 30 menit silam, namun Hendra masih belum beranjak dari kursinya di muka kelas. Ia baru saja membalas surel-surel rektorat dan fakultas tentang beberapa rencana kegiatan dan kolaborasi riset dengan lembaga penelitian milik pemerintah. Fakultas Psikologi UI memang sedang gencar-gencarnya membangun jejaring di tahun ini. Tidak hanya dengan unsur pemerintah tetapi juga swasta baik dalam dan luar negeri. Hendra bahkan didapuk menjadi salah satu tim untuk membantu rencana pemugaran taman akademos yang didanai sebagian oleh sponsor.

              Siapa pun yang melihat dosen muda itu sekarang pasti tahu bahwa ia sedang lelah. Dilepaskannya kaca mata minus kotak yang setia membantunya selama ini di meja. Salah satu tangkainya sudah sering terlepas, tetapi Hendra ogah mengganti dengan yang baru karena alasan sentimentil. Kaca mata itu adalah pemberian Ayah kepada kakaknya yang kini ada padanya. Ia mengucek-ucek matanya perlahan dengan kedua telapak tangan. Lantas menopang dagu menutup sebagian mulut hidungnya; memandang kosong ke arah jendela.

Oh, yeah, I'll tell you something

I think you'll understand

When I'll say that something

Lihat selengkapnya