Udah bunuh aja! Bakar! Bakar! Sikat aja! Ntar duitnya bisa lu beliin sembako. Suara-suara itu memenuhi rongga kepala Ayub sejak subuh hingga tengah hari. Kadang suaranya terlampau lirih tidak terdengar, tetapi sesekali waktu bisa begitu kencang mengalahkan bunyi kereta api yang melintas. Setiap kali suara-suara tak bertuan itu muncul, Ayub akan pergi menjauh dari apa pun aktivitas yang sedang ia lakoni. Dia akan mencari tempat menyendiri hingga suara-suara brengsek itu hilang dengan sendirinya. Kadang hanya tiga sampai sepuluh menit meskipun belakangan semakin lama.
Jika suara-suara terkutuk itu muncul di saat dirinya tengah menjahit. Ayub selalu memilih meninggalkan jarum-jarum dan kain-kain jahitannya begitu saja. Rekan-rekan penjahit di kolong jembatan sudah mahfum dengan kondisinya. Kalau sedang lowong, rasa kebersamaan dan kekeluargaan sebagai sesama penjahit kolong jembatan akan menggerakkan mereka untuk menyelesaikan satu atau dua permak yang Ayub sedang garap. Tentu saja Ayub akan membayarkan sebagian uang dari pesanan pelanggan kepada penolongnya tersebut sebagai ucapan balas budi nanti.
Ayub ingat betul suara-suara ini muncul pertama kali pada tahun 2005. Itu lima tahun lalu dan bertepatan dengan pagi kelahiran Nasyifa di RS Jatinegara. Rukoyah sedang meneteki buah hati mereka di bangsal perawatan sementara Ayub melipir ke area pepohonan kecil yang berada percis di samping UGD. Ia menghabiskan satu dua batang kretek di sana sembari memperhatikan hilir mudik kendaraan yang keluar masuk UGD. Sesekali Ayub akan membuka ponsel Esia miliknya; mengecek bilamana bibi Aida, satu-satunya keluarga Rukoyah telah tiba di rumah sakit.
Jika diingat-ingat sesungguhnya itu adalah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Sejak sore, Rukoyah sebenarnya sudah merasakan sensasi tidak nyaman pada perutnya. Perutnya terasa mengeras. Menjalar dari bagian kiri, kanan, dan punggung. Ayub sebagaimana suami siaga langsung menggenjot sepedanya membawa sang istri ke bidan setempat. Menurut sang bidan, istrinya akan melahirkan nanti malam dan menyarankan Ayub membawanya ke RS Jatinegara dengan surat keterangan dari puskemas. Sempat takut ditolak oleh RS karena tidak mempunyai Jamkesmas, sang bidan bersedia menemaninya mengurus administrasi sore itu juga. Kebaikan yang sungguh tak pernah ia lupakan.
Menjelang pukul 9 malam, Rukoyah masih belum melahirkan. Kontraksi sudah semakin intens tetapi kata dokter bukaan lahirannya masih belum cukup. Ayub mendengarkan penjelasan sang dokter dengan serius meskipun tidak benar-benar sepenuhnya mengerti mengapa si jabang bayi belum juga brojol. Namun, ia percaya hidup mati istrinya berada di tangan orang-orang yang tepat. Keyakinannya akan keselamatan Rukoyah juga semakin kuat ketika Ruminah datang dengan muka berseri. “Mana cucu gue Yub?” tanyanya.
Barulah pada pukul 2 dini hari, Rukoyah merasakan kontraksi hebat pada perut, paha bawah, dan punggung bawahnya. Ada rembesan air ketuban membasahi seprei tempatnya berbaring. Ruminah sang ibu membangunkan Ayub yang tertidur bersandar pada dinding kamar dan cekatan memanggil perawat yang tengah bertugas. Itulah saat-saat Ayub melihat istrinya Rukoyah dibawa oleh para perawat ke ruang persalinan.
Ayub berjalan mondar-mandir di depan ruang persalinan. Sesekali jongkok lalu bangkit bolak-balik. Wajah sang istri yang selama satu tahun terakhir selalu bersamanya dalam suka dan duka terus membayang. Seakan mengingatkan Ayub betapa Rukoyah mencintainya dan meneguhkan Ayub betapa ia pun amat mencintai Rukoyah. Bagaikan rama-rama masuk ke dalam api. Seluruh kegalauannya musnah dengan cepat tatkala dari balik pintu terdengar sayup-sayup tangisan anaknya. Laksana penyejuk di panas dan kerasnya kehidupan, Ayub memberikan nama “Nasyifa” sebagai obat bagi kehidupan mereka berdua.
Dia jelas tidak bisa tidur sama sekali. Hatinya terlalu buncah dengan kebahagiaan. Rukoyah tersenyum pucat seakan seluruh energinya habis terkuras, tetapi sorot matanya memancarkan kebahagiaan tak terkira. Ruminah lebih taktis dalam menyiapkan segala sesuatu selepas persalinan. Mungkin karena ia sudah tiga kali bunting dan berada pada posisi yang sama bahkan lebih buruk keadaannya. Almarhumah adiknya si bungsu Rodiyah malah dilahirkan seorang diri di kamar tidur karena bapaknya yang brengsek keluyuran, dan bidan yang harusnya datang terjebak banjir di daerah Koja.
Sang ibu dengan telaten mempersiapkan air hangat, pembalut, hingga bantal tambahan yang dibawanya dari rumah. Sepanjang malam itu, Ayub menghabiskan waktunya membelai rambut Rukoyah dan memandangi muka bayi mereka yang mungil. “Udah Yub Lu tidur aja. Istirahat barang sebentar cari musala,” ujar ibunya dengan nada riang. Ayub menuruti perintah ibunya dan bergegas menuju tangga darurat hingga tiba di tempat ia merokok sekarang.
Pada mulanya, Ayub yang bersuka cita sedang mengobrol dengan penuh kedermawanan kepada siapa saja yang berada di sana. Menawari mereka dengan bungkus rokok dan senyuman. Ia selalu tak sabar berkisah tentang betapa senangnya hari itu bisa menjadi bapak. Orang-orang yang ia temui pun tak keberatan selama mereka bisa ikut menyomot satu dua batang kretek secara cuma-cuma. Kemudian, sesuatu yang memicu memorinya pada peristiwa 7 tahun silam terjadi.
Sebuah mobil ambulans datang meraung-raung memecahkan sepinya jalanan Jatinegara. Mobil itu segera tiba di muka UGD dan menurunkan pasiennya. Sebuah brankar sudah siap mengangkut tubuh seseorang yang ditutupi oleh selimut tebal bermotif bangau. “Dari mana ini Pak?” tanya keamanan UGD membantu. “Korban kebakar di Hotel Alpina Bang,” sahut petugas yang turun bersama brankar korban. “Apinya gede bener mana kata OB lantai atasnya masih ada orang lagi,” imbuhnya. “Ini masih idup?” “Kritis,” pungkas petugas tersebut. Di antara ketergesaan itulah mata Ayub tertumbuk pada sebuah lengan tutung yang tersingkap dari selimutnya.
Itu adalah sebuah lengan yang gosong dengan beberapa bagian kulit yang memerah. Kendati brankar si korban sudah memasuki UGD, potongan gambar lengan gosong itu tetap menetap di kepalanya. Sekonyong-konyong tangan dan kaki Ayub bergetar hebat. Ia meraba dadanya dan merasakan degup jantungnya seperti berlari. Lalu didera oleh ketakutan yang tiba-tiba saja menyeruak, Ayub mundur satu dua langkah. Pandangannya masih terpaku pada bagian belakang ambulans yang terbuka. Seolah-olah ada sesuatu di sana yang hanya dia sendiri mampu melihatnya.
“Pak, ada apa Pak?” tanya mereka melihat keganjilannya. Ayub tak menjawab karena ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya pada saat itu. Dari bagasi ambulans yang terbuka, ada banyak jari-jari hitam keluar mencengkeram sisi-sisinya. Lalu perlahan-lahan jari-jari itu memercikan api yang panasnya entah bagaimana mencucuh kengerian pada hatinya. Saat itulah Ayub mendengarnya. Lolongan orang-orang yang terluka hatinya; memekik meminta pertolongan.