Matraman, Jumat 22 Oktober 2010
Ayub menjabat tangan Mugiyanto dengan segan. Ia malu. Sangat malu. Kelakuannya yang meninggalkan ruangan konseling sembari membanting pintu, tidak hanya membenarkan perilakunya yang gampang naik darah, tetapi juga menunjukan ketulusan Mugiyanto untuk membantunya. Entah apa alasan Mugiyanto rela menerima orang sepertinya untuk berobat. Ayub selalu merasa tidak ada makan siang gratis di Jakarta. Orang-orang berlomba mendapatkan kesenangan mereka sendiri tidak peduli jika itu didapatkan dengan cara menginjak-injak orang lain.
Karenanya, melihat Mugiyanto tersenyum begitu ringan ketika Ayub meminta maaf atas kejadian hampir sebulan lalu adalah mukjizat baginya. “Mas. Bukankah Bapak saya gak bayar sampean untuk konseling seperti ini?” sebagai orang melarat Ayub selalu menempatkan uang sebagai alasan. Setidaknya ia ingin benar-benar memastikan apa yang Mugiyanto dapatkan dari konseling dengan orang papa sepertinya. Tidak ada makan siang gratis, tuturnya dalam hati.
Mugiyanto lantas melepaskan kaca matanya. Wajahnya yang bundar nampak lebih cerah di bawah sorot lampu ruangan yang putih. Dia menghela nafas. “Untuk bayaran Mas Ayub ndak usah khawatir karena Pak Yusron bayar saya kok, tapi ditanggung Jamkesmas. Ada orang admin yang saya minta bantu pengurusannya,” jelasnya tersenyum. “Begini Mas. Layaknya dokter, kami psikolog juga membantu mengobati pasien. Namun, bukan pasien yang sakit badannya tetapi sakit jiwanya. Bukan gila yah. Itu hal lain. Seperti dulu sempat saya sampaikan di awal, trauma yang Mas Ayub alami bisa jadi gejala post-traumatic stress disorder atau PTSD. Jika dibiarkan berlarut-larut dampaknya akan merembet ke kehidupan sehari-hari Mas Ayub. Tidurnya terganggu karena mimpi-mimpi buruk, makannya bisa jadi tidak nafsu, semangat kerja berkurang, sampai emosi ke sanak famili.” Ayub membenarkan semua pernyataan Mugiyanto dalam hatinya.
“Sembuh dari trauma akan sangat sulit tanpa Mas Ayub berusaha jujur, percaya, dan menerima sumber traumanya,” lanjut Mugiyanto. “Selama ini kita cuma bercerita ke istri kita aja Mas,” ungkap Ayub. “Bagus. Itu bagus. Namun, di sini kita akan sama-sama ngobrol tentang itu dan mencoba melihat trauma yang Mas Ayub alami dari perspektif lain. Dari sudut pandang yang bisa membuat Mas Ayub akhirnya sadar dan legowo atas apa yang terjadi.” Ayub memandang kembali jendela besar di samping mereka berdua. Dia menghela nafas dalam sambi memejamkan mata. “Baik Mas. Insyaallah saya siap,” tegasnya.
“Kalau Mas Ayub merasa nyama lu-gue juga gak apa apa Mas,” tawar Mugiyanto sambil membuka lembaran kertas konseling terakhir Ayub. “Jadi selama beberapa minggu terakhir bagaimana kabar Mas Ayub?” “Baik Mas.” “Istri dan putrinya sehat?” “Sehat alhamdulilah.” “Pekerjaan aman?” “Aman Mas.” “Kalau tidak salah Mas Ayub juga sering kumpul-kumpul barang-barang bekas untuk diloak yah?” “Iya Mas.” “Itu gimana caranya? Dan sejak kapan sering mengumpulkan barang bekas Mas?” “Kalau mulung saya sebenarnya sudah lama Mas,” jawab Ayub.
Lantas mengalirlah ceritanya tentang aktivitas memulung yang sudah dilakoninya sejak masih kecil. Ayub tidak ragu mengatakan kalau memulung adalah aktivitas mengasyikan bahkan bisa disebut hobi selain bermain bola bersama teman-temannya. Di bawah Jembatan Bukit Duri, percis beberapa blok bangunan dari rumahnya, Ayub dan beberapa kawan sepermain sering menghabiskan waktu menjala benda-benda yang terhanyut di Sungai Ciliwung. “Saya pernah dapat koper isinya baju-baju bekas yang masih lumayan,” kisahnya dengan mata berbinar. “Koper Mas?” “Iya, pernah juga bola sepak, dompet, sampai kasur yang masih bisa dipake ada, dibawa oleh Ciliwung. Saya gak ngerti tuh apa gimana orang-orang pada buangin barang bagus ke kali,” ucapnya polos.
Rentetan jawaban Ayub yang mengalir membuat Mugiyanto lebih leluasa membangun pendekatan menuju topik utama mereka. Kendati demikian, catatan konseling terakhirnya memberitahu kalau Ayub menghindari topik tentang adik-adiknya. Mugiyanto percaya, hal itu berhubungan dengan informasi Yusron tentang nasib adik-adiknya. Dirinya hendak mempertanyakan hal tersebut, ketika ketukan di pintu terdengar membuyarkan percakapan mereka mengenai polusi dan kebisingan ibu kota.
Kenop pintu terbuka dan menampilkan sosok Hendrawan Liem yang nampak sungkan. Dia datang mengenakan hem hitam berlengan panjang yang berpadu dengan celana bahan kelabu, gesper plat keemasan, dan sepatu pantofel yang mengkilat. Ayub kagum, iri, sekaligus jengkel melihatnya. Dia yakin, pastilah keseharian pria di depannya itu begitu sempurna. Saking sempurnanya hingga sikap sombongnya itu terasa pantas dihamparkan di mukanya, kalangan kaum papa.
Ayub tidak keberatan ketika Hendra tak mengacuhkannya dan langsung menjabat tangan Mugiyanto. Mereka pastilah kawan dekat, terkanya. Ayub juga tidak terganggu ketika Hendra menarik lengan Mugiyanto ke sudut ruangan kemudian berbisik-bisik seakan pembicaraanya itu haram baginya. Ayub hanya merasa terganggu oleh sorot mata pria ini. Tatapannya tidak cuma menyepelekan tetapi juga menyeringai sinis seakan dia jijik ada bersamanya di ruangan tersebut.
Ayub merasa hatinya panas. Dia bisa merasakan daun telinganya memerah. “Mas Mugiyanto maaf kalau saya mengganggu tapi sepertinya saya pulang saja Mas,” ucapnya seraya beranjak menuju pintu. Mugiyanto yang kaget dengan perilakunya lantas berhambur menahan kenop pintu. “Ada apa?” selidiknya mendapati perubahan ekspresi Ayub. Tentu saja sebagai psikolog, Mugiyanto segera mengetahui alasan di balik sikapnya itu. “O, maaf. Saya kenalkan Mas Ayub dengan rekan psikolog sekaligus kawan lama saya Pak Hendrawan Liem.” Hendra mendekat tetapi tidak ada jabatan tangan di antara keduanya.
Ayub mengangkat dagunya dan memandang balik Hendra dengan seringai tipis di bibir. Baginya orang songong macam Hendra tak pantas diperlakukan hormat apalagi profilnya yang jelas-jelas keturunan Cina. Orang parlente seperti dia dan jenisnya pastilah cuma peduli dengan cuan. Psikolog? Buka praktek khusus orang-orang berduit tentunya. Ayub juga berpikir kehadiran Hendra di sini hanya kebetulan sial yang terjadi di sela-sela pengobatannya.