Mimpi Buruk Ayub

spacekantor
Chapter #8

Lapang Hati

Matraman, Jumat 25 Februari 2011

Sudah dua minggu ini derasnya hujan mengungkung Jakarta. Rintiknya sudah bermula sejak pagi-pagi buta. Tetes-tetes hujan pertama selalu berbarengan dengan kereta ekonomi paling pagi yang datang dari selatan. Dari sana, awan mendung yang berarak membawa airnya hingga terus ke Jakarta Kota dan pesisir-pesisir muara di Jakarta Utara. Hanya ketika matahari sudah naik sepenggalah, Sang Hujan menghentikan berkatnya. Dia mempersilakan mentari untuk sejenak menyebarkan hangatnya ke seantero ibu kota. “Padahal imlek sudah lewat sejak tanggal 3,” keluh suara-suara para pekerja.

Mereka adalah simbol perjuangan di ibu kota. Datang dari segala penjuru Nusantara. Sebagian menetap di sana. Menyewa sepetak kamar berbau tengik demi mengumpulkan sekeping uang bagi keluarga di kampung. Namun, tidak sedikit juga yang nekat pulang dan pergi setiap harinya. Menerobos kemacetan berjam-jam dan sekarang hujan yang cepat mereda dan menderas. Hanya demi menemukan keteduhan tempat yang mereka sebut rumah.

Setiap kali musim hujan tiba, pikiran warga Jakarta berputar di antara kemacetan dan kebanjiran. Tidak terkecuali bagi warga Kampung Pulo. Sebelum dan sesudah Imlek merupakan masa-masa menegangkan, terutama jika siaran berita mengabarkan kenaikan muka air di Bendungan Katulampa. Bukan berarti mereka takut. Mereka sudah terbiasa dan berpengalaman selama puluhan tahun dikepung banjir 1 meter, 2 meter bahkan 3 meter.

Puluhan tahun “bersahabat” dengan banjir memaksa warga Kampung Pulo beradaptasi. Bentuk bangunan tempat tinggal mereka bertingkat-tingkat. Sebuah bangunan semi permanen di sana jamak memiliki 2-3 lantai. Lantai pertama tempat di mana barang-barang yang biasanya kurang berharga ditempatkan, sedangkan lantai 2-3 menjadi ruangan sebenarnya tempat menyimpan peralatan, meja, kursi, kasur, elektronik hingga obat-obatan dan makanan.

Namun, sudah satu minggu ini bahan makanan tidak ada sama sekali di pedaringan milik Rukoyah. Jangankan lauk pauk dan sayuran, sekedar beras saja dia harus mengantre jatah raskin di kelurahan. Luapan Sungai Ciliwung hanya membawa sampah-sampah belukar dan karatan yang sama sekali tidak bisa diuangkan. Beruntung tetangga-tetangganya masih sering berbagi. Perasaan senasib sepenanggungan mereka merupakan wujud tenggang rasa yang semakin sulit ditemukan di belantara egoisnya ibu kota.

Ada banyak hal yang masih bisa disyukuri, batin Rukoyah. Seperti sore ini, dia sedang menggoreng 3 butir telur untuk melengkapi nasi yang sudah tanak sejak satu jam lalu. Sesekali tangannya sigap menarik batang-batang kayu yang terbakar terlalu besar. Sejatinya, tungku tanah liat buatan suaminya tersebut jarang digunakan. Uang hasil Ayub menjahit sudah lebih dari cukup untuk sekedar membeli tabung LPG. Namun, sudah 2 bulan terakhir mimpi buruk suaminya kian mengusik.

Sekarang tidak hanya mengganggu waktu tidur tetapi juga konsentrasinya ketika bekerja. Sudah belasan kali jari tangan Ayub tertusuk jarum mesin jahit. Katanya, dia selalu gemetar secara mendadak, terutama ketika mendengar orang berteriak dan saling meloncat dari atas gerbong kereta api Jatinegara.

Rukoyah mengangkat ketiga telur yang sudah matang dan meniriskannya di atas saringan aluminium. Minyak jelantah yang menetes ke rantang di bawahnya akan dipakai kembali nanti. Dia kemudian menyiapkan 3 buah piring keramik putih berhiaskan bunga mawar. Disendoknya kepulan nasi hangat yang tersaji di boboko ke atas tiga piring tersebut. Kemudian menambahkan telur ke tiap-tiap piring. Tak dinyana, perutnya tiba-tiba berbunyi. Rukoyah menelan ludah sendiri. Menu makanan hari ini lebih nikmat dibanding kemarin yang hanya terdiri dari nasi dan garam.

 Dari kamar tidur, suara Ayub yang menggeliat terdengar bersamaan dengan deritan ranjang usang milik mereka. Rukoyah gesit mengambil gelas kaca belimbing dan mengisinya dengan air teh. “Udah mendingan Bang?” tanyanya seraya menyerahkan gelas tersebut. Ayub tak menjawab. Pandangannya menerawang ke arah dapur, bahunya lemas, dan badannya tampak tak bertenaga. Rukoyah tidak lagi melihat sosok lelaki yang dulu begitu perkasa naik-turun tangga mengganti plafon di kernit atau begitu beringas menggendongnya di atas meja kasir toko laundry pada malam-malam yang sepi. Kini, Rukoyah hanya melihat sepasang sorot mata yang layu dan ketakutan bahkan untuk sekedar tetirah.

Diseruputnya teh tawar itu dengan sekali tegukan. Linangannya meluber hingga membasahi janggut lebat dan lehernya. Rukoyah memperhatikan guratan-guratan halus di wajah suaminya yang belum renta, tetapi semakin banyak. Janggut dan kumisnya yang hitam tumbuh awut-awutan, nampak kian berantakan dan mengembang; begitu pula rambutnya yang sudah nyaris sebahu; serta kuku-kukunya yang hitam memanjang. Rukoyah memandang iba kepada suaminya. Dia menjadi saksi betapa sulitnya menjalani hari-hari yang penuh teror seperti itu.

“Di mana Syifa?” tanyanya nyaris tak terdengar. “Main di rumah Santi. Sebentar lagi juga pulang,” jawab Rukoyah mengambil kembali gelas itu dan membawanya ke dapur. Ayub mengerahkan tenaga dan tekadnya untuk berdiri. Ia memandang dirinya yang tecermin dari kaca lemari. Tubuh itu sekarang nampak semakin kurus dan ropak-rapik seperti manusia gua yang sempat dipelajarinya semasa sekolah. Hanya saja dalam pandangan Ayub bukan cuma penampilan fisiknya yang amburadul, tetapi juga jiwanya yang karut-marut.

Ayub melangkah menyibak tirai kamar. Dilihatnya nasi pulen dengan telur goreng yang sudah tersaji di atas piring. Rukoyah pun sudah duduk di sana. Matanya mengisyaratkan Ayub supaya lekas duduk dan mengambil makanan terlebih dahulu. Pamali kalau istri mendahului suami begitulah wejangan yang selama ini dipatuhinya sejak dahulu. “Makanlah duluan. Abang gak lapar,” titah Ayub. “Abang belum makan dari pagi kan?” “Abang nemu pisang setengah sisir di Kebon Haji Naim. Gak apa apa makan duluan.” Kali ini Ayub sengaja mengatakannya dengan lebih tegas. Perutnya sudah menagih, tetapi selera makannya benar-benar menguap.

Lihat selengkapnya