Depok, Minggu 6 Maret 2011
Hembusan angin kering di bulan Maret menyentuh tengkuk Hendra hingga membuatnya bergidik. Namun, Hendra juga merasakan pendar hangat sinar mentari pagi mulai menyelimuti punggung dan kepala belakang, menembus jauh ke dalam pori-pori hingga diserap oleh aliran darah dan mengedarkannya ke seluruh tubuh. Dalam setiap hembusan nafas dari mata yang terpejam, Hendra membaui aroma sang surya yang menenangkan saraf-sarafnya.
Hembusan angin juga menciptakan riak di sepanjang permukaan kolam renang di mana ia duduk, menikmati Minggu pagi yang segar dan ramai oleh kicauan alam. Kupingnya menangkap nyanyian burung-burung di kejauhan. Dia mengenali suara itu pastilah Prenjak Jawa yang memang banyak bersarang di sebuah situ tak jauh dari perumahan mewahnya.
Yang tak Hendra ketahui ialah usaha burung itu lari dari kejaran burung lain. Seekor burung Kedasih terbang meliuk-liuk di antara rumpun bambu dan pepohonan pinggiran Danau Juanda. Tanpa ia sadari, pengejarannya terhadap si Prenjak Jawa membawa sang burung hinggap di salah satu dahan pohon Kersen yang berada di depan gerbang rumahnya. Siulan si burung yang konon membawa petaka itu akhirnya mengusik ketenangan batin Hendra.
Bukan karena dia percaya dengan mitos tersebut melainkan karena laras kicauannya yang terasa murung, merana, sekaligus pilu. Mungkin itulah alasan orang-orang tidak menyukai nyanyian burung ini, kira Hendra. Kicau sang burung hanya mengingatkan suasana buruk yang belakangan terjadi di rumah tangganya.
Sejak menikah dengan Putri beberapa bulan silam, rumah tangga Hendra hanya bahagia sesaat karena pertengkaran-pertengkaran antara mereka berdua menyusul begitu cepat. Hendra tetap menunjukan ketidaksukaannya kepada kawan-kawan Putri walaupun ia tahu jika mereka sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan tragedi Mei ’98. Ia hanya enggan sedikit pun untuk mengenal kawan-kawan Putri lebih jauh, padahal prasangka seperti itu tidak pernah muncul ketika ia berada di lingkungan kampus sebagai pengajar atau relawan psikolog di lembaga publik seperti Kontras.
Bagi Hendra, membangun jalinan pertemanan yang terlampau akrab dengan pribumi sama saja menggali lubang sendiri. Tidak ada yang tahu kapan tragedi atau kerusuhan serupa Mei ’98 akan terulang kembali. Namun, satu hal yang pasti: etnis Tionghoa lah yang lumrah menjadi korbannya. Rekaman kolektif ini melekat kuat pada ingatannya, pada ajaran Mama dan Papa, pada khotbah-khotbah sesama Tionghoa. Dalam hematnya, apa yang ia selalu utarakan kepada Putri adalah tindakan preventif agar nasibnya tidak seperti kakaknya yang dahulu menjadi korban. Hanya karena menemani temannya yang Jawa untuk mencari penyeranta.
“Zaman sudah berubah Koh. Ini sudah zaman millenium! Orang-orang tidak lagi hidup dikotak-kotakan oleh warna kulit mereka,” tolak Putri setiap kali Hendra menyinggung kedekatannya dengan teman-temannya di kantor. Hendra mencintainya tetapi pandangan mereka tentang hidup terlampau berbeda. Atau memang dirinyalah yang sudah terlalu usang? Ia menghela nafas panjang sembari menceburkan diri di dinginnya kolam. Ia menenggelamkan seluruh kepalanya karena masih mendengar jelas setiap jerkah yang istrinya itu lontarkan. Suaranya, datang silih berganti dengan himbauan-himbauan pembimbingnya di Queensland untuk segera merampungkan draf awal proposal penelitian.
Barulah ketika nafasnya hampir terputus, dia mengangkat kepalanya dari dalam air lalu terbatuk-batuk. Air dan udara bercampur baur di kerongkongannya. Hanya ada makian dan rutukan yang terucap dari tumpukan frustasinya. Namun, Hendra pun menyadari segala keruwetan yang ia alami boleh jadi berakar dari dalam kalbunya sendiri.
Kesadaran itu sekali lagi datang kepadanya. Mengetuk pintu paling tertutup yang hanya dirinya sendiri tahu di mana kuncinya. Itu pun jika kunci itu masih ada karena sudah sejak bertahun-tahun lamanya Hendra melemparkan si kunci di antara timbunan buku, jurnal ilmiah, dan segala tetek bengek ajar-mengajar. Jauh di lubuk hatinya yang sudah tamat mencerap segala ilmu psikologi tahu bahwasanya guncangan jiwa yang ada pada dirinya akan selalu ada di sana dan runcit bermanifestasi dalam perilaku sehari-hari.