Matraman, Selasa 8 Maret 2011
Hujan baru saja reda ketika kumandang azan magrib menggema di langit Jakarta. Lantunannya seakan menjadi penanda bagi sekalian alam untuk melipat kembali urusannya hari ini guna digelar lagi pada keesokan hari. Seekor burung Cinenen sudah kembali ke sarangnya di bawah dedaunan dahan pohon mangga yang sudah tak berbuah. Bulu ekornya yang berwarna zaitun menjadi berwarna keemasan tatkala selarik sisa-sisa senjakala menyorotnya dari kejauhan.
Sinar kuning keemasan itu juga merasuk ke banyak tempat dan perasaan, seakan memberikan energi terakhir bagi mereka yang ingin pulang. Dari halte busway yang penuh sesak, peron-peron kereta yang padat, hingga terminal-terminal bus dan angkutan umum yang sudah sumpek. Di antara segala kesemrawutannya, semua menatap damai baskara yang tenggelam secara perlahan. Ada secuil kelapangan hati yang merembes di tengah kerasnya himpitan zaman, ada secercah peraduan bagi jiwa-jiwa yang kelelahan.
Itu pula yang Ayub rasakan dari dalam metromini yang mengantarkannya ke tempat Mugiyanto. Duduk si samping jendela terbuka, dia menjadi saksi terbenamnya sang mentari di balik rimbunnya gedung-gedung beton ibu kota. Tangannya memegang erat jemari Rukoyah yang duduk di sampingnya sementara Syifa sudah setengah tertidur di pangkuan sang ibu. Mata Ayub lantas menangkap 3 orang bocah lelaki yang masih asyik bermain berkejaran tak jauh dari Pohon Mangga tempat burung Cinenen bersarang tadi. Dalam kemurnian hati bocah-bocah kampung Jakarta itu, hari terlampau pendek untuk dunia permainan mereka. Namun, bagi Ayub justru sebaliknya.
Waktu malah seakan berhenti ketika Yusron menghampirinya tadi pagi. Bapak angkatnya itu menyodorkan sejumlah uang untuk “bekalnya” pergi. Bukan hanya rasa sungkan yang membuat Ayub saat itu ragu menerimanya, tetapi juga ada ketakutan yang muncul jikalau ia tak sanggup menjalani kembali konseling yang pernah terputus berbulan-bulan lamanya. “Ajak Rukoyah dan Nasyifa juga sebagai penguat.” Maka di metromini inilah ia berada bersama dua orang terpenting dalam hidupnya. Dan tanpa ia sadari metromini yang membawa mereka sudah tiba di muka kantor Lembaga Konsultasi Psikologi Terapan: Mugiyanto, M.Si.
Kali ini tidak ada satpam yang menghentikan dirinya, tidak ada petugas yang bertanya ke mana tujuannya? Atau memastikannya tidak tersasar lantaran kaos lusuh dan celana bahan berwarna hitam usang yang ia kenakan. Justru para pegawai yang sif malam ikut memastikan bahwa pria beralis tebal dengan kumis dan brewok tipisnya itu adalah sosok yang tengah ditunggu sendiri oleh pimpinan mereka. “Kebetulan Pak Mugi dan lainnya sudah menunggu di ruangan,” ujar salah seorang pegawai perempuan sembari memberikan permen kepada Syifa yang sudah terjaga.
Sang pegawai perempuan muda itu kemudian menuntun mereka ke arah ruangan konseling yang sejatinya sudah Ayub ketahui. Kecuali replika lukisan Van Gogh yang digantikan oleh sebuah lukisan pemandangan alam yang indah, tidak ada hal yang berubah dari area tunggu di dekat pintu ruang konseling. Aroma dedaunan pinus dan min masih menebarkan keharuman yang nyaman, begitu pula empuknya sofa tempat Rukoyah menunggu bersama Syifa, dan keramahan para pegawainya.
Syifa yang tadinya mengantuk lantas asyik bermain bersama salah seorang pegawai perempuan lain. Si pegawai perempuan muda itu mengajaknya melihat buku stiker berisi para putri dari negeri dongeng. Itu rupanya alasan si pegawai agar bisa leluasa mengajak Nasyifa bermain sementara Rukoyah akan menemani Ayub di dalam. “Bukannya saya harus sendirian saja Mbak?” tanya Ayub memastikan. “O, tidak Pak. Kali ini Pak Mugi juga mempersilakan Bapak membawa istrinya,” tutur pegawai itu bangkit dan membukakan pintu. “Silakan, biar Syifa bersama saya dahulu.”
Ayub memasuki ruangan itu, diikuti Rukoyah. Matanya langsung menyadari kehadiran Mugiyanto, Hendra, dan seorang wanita di sampingnya. Namun, tidak seperti pertemuan pertama mereka yang penuh ketegangan. Hendra merasakan nuansa lain terpancar baik dari wajah Mugiyanto maupun Hendra. Roman Hendra yang dulu memancarkan keangkuhan dengan senyum sinis merendahkan, kini sirna begitu saja. Hanya ada wajah yang tertunduk seraya mengusap-usap tengkuknya dengan senyum tipis yang samar. Dia mengangguk lemah ke arahnya.
Adalah Mugiyanto yang pertama kali berdiri menyambutnya. Seperti biasa, sosoknya yang gembul selalu tampil begitu ramah seakan ia merupakan sahabat lamanya. Ayub menerima rangkulan Mugiyanto dengan kikuk. Rasa bersalah belum sepenuhnya hilang dari sanubarinya. Maka ia lagi memohon maaf atas perlakuannya tempo dulu. “Yang sudah biarlah berlalu. Tonjokan sampean juga gak kayak Mike Tyson,” selorohnya terkekeh sendiri. Pembawaan Mugiyanto yang cair jelas meringankan langkah Ayub selanjutnya.
Sekarang, ruangan tempat konseling itu tidak lagi menggunakan 2 sofa dan sebuah meja yang menghadap ke arah jendela, melainkan sebuah meja persegi panjang dari lembaran kayu trembesi yang utuh dan dipelitur; dilengkapi 5 buah kursi berangka krom dengan jok dan sandaran berwarna biru. Ayub dan Rukoyah duduk di seberang Hendra dan istrinya, sedangkan Mugiyanto mengambil posisi di ujung meja. Ayub lalu menyeruput teh hangat yang telah disediakan sekalian melirik Hendra yang masih menunduk memandangi uliran meja dengan tatapan gelisah sementara tangannya tak lepas memegang jemari istrinya.
“Kita masih menunggu satu orang lagi peserta yang katanya sih baru sampai, tapi ke toilet dulu,” kata Mugiyanto. Ia tersenyum lebar ketika mengatakan “satu orang lagi” kepada Ayub. Tentu saja dirinya tak bisa menerka atau memahami siapa “satu orang lagi” tersebut, tetapi ketika pintu diketuk dan sebuah salam menyapa, Ayub terkesiap. “Nah, selamat datang Uak. Ayo masuk udah ditungguin ini,” sambut Mugiyanto menghampiri Yusron.
*