Manggarai, Rabu 13 Mei 1998
Rabu itu adalah hari terakhir pelaksanaan Ebtanas anak-anak SMP. Jadi, kami anak-anak kelas 3 SMK Yayasan Kejora (Yake) 72 datang ke sekolah hanya untuk ekstrakurikuler, ujian susulan, atau nongkrong dengan kawan-kawan lain. Saya mempunyai seorang kawan bernama Suswanto. Termasuk Suswanto dan saya, hampir semua anak kelas tiga sedang beristirahat di tangga lorong sekolah, nongkrong dan membicarakan kematian mahasiswa Trisakti yang ditembak oleh polisi. Obrolan kami begitu hidup hingga salah seorang guru ikut menimbrung dan mengatakan Jakarta sedang kacau balau. “Tawuran yang Lu-Lu pada sering bandel ikutin, gak ada apa-apanya dibandingkan sekarang,” serunya.
“Besok atau hari ini konon ada rusuh dan jarah-jarah Pak.” Tiba-tiba dari mulut Suswanto meluncur perkataan tersebut. Pak guru yang pada awalnya terlihat kaget, segera menguasai obrolan dan berusaha meyakinkan kami bahwa itu adalah disinformasi–istilah yang sama sekali tak saya pahami–tetapi menganjurkan kami agar tidak dulu keluyuran dan nongkrong sepulang sekolah. Tak berapa lama kemudian, pak guru kembali ke ruangan tetapi obrolan sama sekali tidak padam. Dan tidak hanya Suswanto, beberapa kawan lain ternyata mendengar desas-desus serupa.
Suswanto bangkit berdiri, orang yang baru pertama bertemu dengannya mungkin akan meremehkan karena perawakannya kecil, kepalanya plontos dengan bekas luka sabetan di bagian belakang, dan sama-sama berkulit cokelat kehitaman. Tidak ada yang akan menyangka kalau selama dua tahun terakhir, dialah pemimpin kami di medan tawuran. Dibalik badannya yang pejal dan matanya yang tajam, tersimpan nyali yang tidak pernah surut di hadapan musuh-musuh kami, dari sekolah lain.
“Abang gue bilang, tadi pagi ada banyak tentara sama polisi ke Atma Jaya. Mereka udah pada stand by kalau kalau kerusuhan pecah,” ceritanya. “Sama Bapak gue juga bilang gitu, malah tadinya dia nyuruh gue kagak masuk sekolah,” timpal Bonge. “Masalahnya kita pada mau ikut turun gak nih? Anak-anak Yake masa gak ikutan.” Kali ini bocah lain di ujung tangga ikut berpendapat. “Lu denger sendiri kata guru, ini bukan tawuran biasa Coy. Lu turun bawa nama masing-masing, jangan bawa sekolah.” giliran saya berpendapat. Suswanto mengacungkan jempol, diikuti oleh anggukan setuju anak-anak lain.
Seperti halnya dengan Suswanto yang disegani seantero sekolah, saya pun demikian. Sebagai sesama orang berperangai keras, tidak heran kalau keakraban kami hari itu berbuah dari belasan kali bentrok dan adu jotos. Namun, permusuhan di antara kami makin terkikis setiap kali kami berada pada sisi yang sama melawan SMA atau SMK lain. Hingga permusuhan itu benar-benar berubah menjadi solidaritas tanpa batas. Terlebih, ketika saya tahu kalau kami berdua berasal dari keluarga yang juga sama-sama berantakan.
“Jadi kan Lu nginep? Rokum[1] kosong kok. Biar besok ke lapangan lebih selow,” ujar Suswanto mendekat. Dia menagih janji saya untuk membela tim sepak bolanya. Saya terdiam dan tidak langsung mengiyakan. Saat itu, saya bahkan tidak yakin itu ide yang bagus. Pertama, karena suasana Jakarta saat itu sedang begitu “panas”; Mahasiswa berdemo dimana-mana’ bentrokan terjadi hampir tanpa kenal waktu; dan Bapak di rumah makin sering berjudi dan pulang memukuli siapa saja yang ada di rumah. Hanya jika saya ada di rumah, si brengsek itu akan berpikir dua-tiga kali karena buku-buku jari saya sudah pernah mendarat di pelipisnya dahulu. Kedua, saya tidak punya uang untuk ongkos dan makan.
Suswanto sepertinya menangkap kebimbangan nomor dua dan sebelum saya melontarkan penolakan, dia menegaskan bahwa urusan makan, minum, dan ongkos menjadi tanggung jawabnya. “Ini masalah harga diri Yub. Klub bola kampung sebelah itu udeh terlalu lama dibiarin,” serunya berang. Matanya mendelik dengan mulut terkatup, raut wajah Suswanto memang menyiratkan kemurkaan. Terutama, tatkala bercerita betapa muaknya dia harus menelan berondongan gol dari klub lawannya itu, saya tahu bahwa si bongak ini ingin menuntut balas. Tentunya ia melihat jaminan kemenangan itu ada pada kaki-kaki saya yang memang terlatih sejak SD.
Mendengarnya menyinggung masalah harga diri, maka darah muda saya berdesir. Menginjak harga diri satu murid SMK Yake sama saja dengan menginjak harga diri seluruh murid di sini. Saya lantas menyanggupi permintaannya meski dengan sedikit berat hati. “Pokoknya besok kelar main. Menang atau kalah atau ribut. Gue langsung balik,” kata saya menegaskan. Suswanto sumringah dan mengacungkan dua jempol sekaligus. “Kalau Lu main, gue yakin dah, tim gue mainnya kayak AC Milan,” sambungnya disambut gelak tawa konco-konco lain. Percakapan itu sebenarnya masih bersambung tetapi dering bel waktu ujian terakhir sudah berbunyi. Disusul sebuah pengumuman kepada semua murid SMP dan SMK agar tidak pulang terlebih dahulu.
Tiba-tiba Suswanto menghentak. “Kita ke Roxy Yub! Sekarang! Ambil tas Lu,” tegasnya. “Ada apa sih?” kata saya menuntut penjelasan. Namun, Suswanto sudah kadung kembali ke ruangan kelas dan ketika ia kembali, pelantang suara di lorong kelas kembali berbunyi, mengumumkan bahwa Jakarta kembali dilanda kerusuhan. Sekolah meminta semua murid untuk tidak pulang sendiri kecuali jaraknya dekat. “Nah, itu Lu denger,” ucapnya. “Terus ngapain ke Roxy?” tanya saya meninggikan suara.
Suswanto akhirnya sadar kalau saya berdiri sama tinggi dengannya. Saya pikir dia bisa melihat sorot mata saya yang lantang meminta penjelasan. Bahunya kemudian turun, Suswanto menghela nafas dan lirih mengutarakan alasannya. “Lu tahu Roxy tempat apa?” “Jualan elektronik? TV, radio, dan lain-lain.” Saya masih belum mengerti arah tujuannya.