Mimpi Buruk Ayub

spacekantor
Chapter #12

Pengampunan

Kampung Kolong Jembatan Bukit Duri, Kamis 14 Mei 1998           

Malam itu, saya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Detik demi detik pemandangan massa mengganyang lalu membakar pemuda Cina itu masih membekas hingga terbawa ke alam mimpi. Saya akhirnya benar-benar bangun ketika jam baru menunjukan pukul setengah tiga pagi. Bukan karena gangguan mimpi buruk itu, melainkan karena perut yang perih belum diisi sepulang dari sekolah. Ibu masih terlelap di kamar; begitu pula kedua adik saya, Memet dan Rodiyah; dan Bapak entah tidur di mana.

Dengan mengendap-endap, saya membuka tudung saji yang ternyata berisi piring-piring kosong. Hanya ada beberapa bulir sisa nasi goreng yang sepertinya sempat Ibu masak tadi sore. Saya tutup kembali meja makan itu dengan perasaan kecewa. Kemudian, bergeser ke arah bufet di dekat jendela, tetapi hasilnya juga nihil. Padahal jika beruntung, terkadang Ibu suka menyimpan sebungkus mi instan atau kerupuk warung di sana.

Lapar yang saya rasakan membuat jantung terasa berdegup lebih kencang, maka saya menuangkan air teh dan meminumnya hingga bergelas-gelas bak sapi gelonggongan. Namun, ketika saya hendak melanjutkan tidur, tak dinyana Rodiyah si bungsu bangun menggosok-gosok matanya. Tangan kanannya memeluk boneka perempuan dari sulaman kain sisa sementara tangan kirinya menjulurkan sesuatu. Saya mendekat dan bersimpuh di depannya, mengambil bungkusan plastik yang ia sodorkan. Sebuah roti cokelat warung. “Untuk Abang,” katanya, lantas berbalik kembali ke kamar Ibu.

Saya terdiam memandangi roti warung yang masih terbungkus plastik itu. Saya merobek bungkusnya dan menjejalkan isinya ke dalam mulut. Rasanya menjadi sedikit aneh karena bercampur dengan asin air mata yang tiba-tiba berlinang tak terbendung. Sebisa mungkin saya menahan sedu sedan supaya Ibu, Memet, dan Rodiyah tidak terjaga. Perut yang lapar sudah diganjal, tetapi hati yang masygul kembali mengemuka.

Pikiran-pikiran jahat memenuhi rongga kepala tanpa sanggup saya tata. Besok Yogya mau dijarah kata orang-orang Yub… perkataan Ujang kembali terngiang di telinga. Ya, tidak apa-apa. Semua tetek bengek demonstrasi mahasiswa ini tidak akan serta merta membuat perut kami kenyang, tidak juga menghadirkan makanan di meja makan, apalagi mendatangkan banyak uang. Demonstrasi atau reformasi atau si-si lainnya ini, hanya ada karena barang-barang semakin mahal, makan semakin susah, dan pekerjaan semakin langka. Semua yang “semakin-semakin” itu pada dasarnya tidak pernah kami punya.

Tidak ada barang yang dibeli karena memang duitnya tidak ada. Makanan susah, sudah jadi kebiasaan sehari-hari karena pekerjaan pun cuma menjadi milik orang yang punya ijazah. Sekonyong-konyong kebenaran baru merasuk ke dalam kalbu. Jika mereka yang membunuh dan membakar itu melakukannya karena merasa hak-hak kepribumiannya direnggut oleh orang-orang pendatang, mengapa saya tidak berhak untuk ikut menggarong demi sekedar kantong beras atau susu untuk adik-adik saya. Bukankah itu lebih mulia dibanding dengan mati kelaparan karena menjaga harga diri yang selalu terinjak-injak kemelaratan? Pergulatan pemikiran itu terjadi sepanjang malam hingga saya terlelap kembali di atas lincak depan rumah.

Adanya deru kendaraan tepat di atas kepala tidak pernah mengganggu tidur kami, warga kolong jembatan. Yang ada, bunyi kendaraan-kendaraan tersebut justru berlaku seperti derau putih yang selalu menemani aktivitas warga. Justru, kotek ayam-ayam peliharaan tetangga itulah yang mengusik jiwa saya yang setengahnya masih berada di alam mimpi. Ditambah, sengatan matahari yang terbias dari knalpot motor butut tetangga, jatuh tepat di kedua mata saya. Memaksa badan untuk segera duduk seberapa pun nyeri dan letihnya masih terasa.

Saya duduk dengan payah di lincak rumah. Indukan ayam terkejut dan berlari menjauh membawa anak-anaknya. Tidak hanya ayam, di ujung jalan ada bebek dan soang tetangga yang membuang tahi di mana-mana. Aneh, karena kebiasaan Bah Bubun–tetangga saya–selalu melepas peliharaannya itu menjelang siang setelah diberi pakan dedak di dalam batok-batok kelapa. Saya mengalihkan pandangan ke arah pintunya yang terbuka dan nampak sepi.

Lalu, saya baru menyadari bahwa bukan hanya rumah Bah Bubun yang kosong tiada penghuni, tetapi juga rumah-rumah di sebelahnya. Kemana semua orang? Batinku. Pertanyaan yang mengusik itu saya bawa ke dalam rumah, Umi ada di kamar mandi sedang mencuci baju-baju yang menjadi jasanya, sedangkan Rodiyah bermain boneka. “Kemana semua orang Bu? Memet gak libur” tanyaku memastikan juga keberadaan Memet yang masih SMP. “Kagak. Udah dari pagi terus kalau warga pada lihat tawuran di jalan Yub. Lu jangan ikut-ikutan ye,” jawabnya. Saya hanya tersenyum tak menginyakan.

Bagi kami yang hidup dalam himpitan, tidak banyak jenis hiburan yang bisa didapatkan. Salah satunya ialah menonton tawuran itu. Anak-anak STM Bonser 3 biasanya menghelat “hajatan” mereka di jalan seberang kolong jembatan ini. Kami yang menonton akan bersorak ketika ada salah satu siswa yang jatuh atau terpecut gesper Lawannya, kemudian bubar ketika sirine polisi datang dari kejauhan. Mungkin itulah kenapa, kekerasan di tempat-tempat seperti saya tinggal tumbuh subur. Karena kekerasan itu sendiri sudah menjadi hiburan tersendiri.

Namun, kalau pun ada tawuran sebagaimana biasa, seharusnya orang-orang di sini sudah kembali karena polsek tidak terlampau jauh dan polisi cukup cekatan menghentikan keusilan teman-teman sebaya. Pada saat itulah saya teringat cuplikan percakapan kemarin. Jangan-jangan, warga di sini sudah bergerak ke Duren Sawit, duga saya dalam hati.

Saya tak mengutarakan apapun tentang isu penjarahan selain akan ke rumah teman di daerah Klender ketika meninggalkan rumah. Lagipula hanya ada goreng ikan teri dan beberapa centong nasi yang tidak akan cukup untuk tiga orang sekaligus. Saya mesti mencari sendiri sarapan di luar. Dengan perut kosong berisi air putih, saya meninggalkan rumah bergerak ke arah timur.

Lihat selengkapnya