Tiga bulan kemudian, Santa Lucia, akhir Agustus 2011
No one is born hating another person because of the color of his skin or his background or his religion. People must learn to hate and if they can learn to hate, they can be taught to love. For love comes more naturally to the human heart than its opposite. Nelson Mandela.
Hendra memilih sendiri kutipan itu setelah membaca Long Walk to Freedom sebulan lalu di Perpusnas sebagai halaman pertama proposal risetnya yang sudah rampung. Namun, perkataan tokoh perdamaian itu sejatinya hanya memperkokoh pemaknaan hidup baru yang kini ada pada dirinya. Bahwa seseorang yang bisa membenci, akan jauh lebih mudah untuk mencintai. Pesan itu sekarang mengakar kuat pada jiwanya, perlahan tumbuh menjadi dedaunan perangai dan batang perilaku di keseharian. Lalu benar-benar hadir sebagai pohon baru yang sudah meranggaskan segala belenggu kebencian dalam dirinya.
Putri sang istri adalah orang pertama yang paling bahagia menerima perubahan sikap suaminya. Tidak ada lagi sindiran-sindiran rasialis tentang betapa dekatnya ia dengan teman-teman nontionghoa-nya, tidak ada lagi roller coaster emosi yang selama awal-awal pernikahan mereka selalu meledak-ledak, dan tidak ada lagi sosok Hendra yang penuh curiga kepada orang-orang yang berbeda warna kulit dan atribut agamanya.
Selain sebagai relawan psikolog, sang suami memang masih enggan untuk mengikuti kegiatan sosial di lingkungan permukiman, terutama yang melibatkan banyak warga sekitar. Akan tetapi, transformasi pola pikir dan tingkah lakunya sudah lebih dari cukup bagi Putri. Semakin hari ia yakin suaminya semakin jauh meninggalkan trauma masa lalunya. Puncaknya adalah hari ini. Sesaat sebelum Hendra naik ke podium salah satu ruangan Forgan Smith, Universitas Queensland, ia mengepalkan sesuatu ke dalam genggamannya.
Sebuah jam saku rakitan Bulova dengan potret Melisa ada di tangannya. Putri terkesiap dengan tatapan yang bertanya, namun Hendra segera menjawabnya dengan senyuman tertulus yang pernah ia berikan kepada siapa pun. “Selama ini aku berpikir jika jam saku ini memberikanku kekuatan karena Ci Melisa ada di sana,” lirihnya. “Tetapi aku salah Yang. Jam saku ini sesungguhnya justru menahanku tetap hidup mengenang kesedihan, padahal aku yakin Ci Melisa malah akan sedih jika melihatku seperti sekarang.”
Profesor James Burton, promotor sekaligus penguji proposal risetnya berdeham sebagai tanda ia dan dua penguji lain sudah siap. Hendra melepas jam saku penuh kenangan itu sembari menyungginkan senyum lalu melangkah pasti ke podium. “Selamat pagi Profesor Burton, Profesor Kayle, dan Doktor Aisyah. Judul proposal riset saya adalah Konsekuensi Psikologis Kerusuhan Mei ’98 dan Intervensi Penyembuhannya,” buka Hendra. “Ini sudah semua termasuk revisi terakhir dari saya?” tanya Prof. Burton seraya membalik halaman kertas. Matanya yang tajam memindai setiap lembar halaman dengan seksama. “Sudah Prof,” tegas Hendra.
“Good. Silakan lanjutkan.” “Selama hampir 13 tahun, harapan rakyat Indonesia untuk mendapatkan jawaban atas segala kekerasan yang terjadi pada Mei ’98 belum membuahkan apapun, kecuali harapan kosong yang ditambal sulam oleh pemerintah,” lanjut Hendra. Ia mengawali presentasinya dengan melucuti fakta bahwa pengusutan dalang kerusuhan yang menyebabkan ribuan nyawa melayang dan melukai baik jiwa maupun raga yang masih hidup, masih belum terungkap. Pemerintah pun masih belum secara resmi menyampaikan permohonan maaf atas pelanggaran HAM berat yang terjadi selama Reformasi ‘98.
Setelah menyampaikan adanya pemantik kerusuhan berupa diskriminasi dan framing terhadap ras minoritas, Hendra menohok kesadara para penguji tentang sisi lain kejahatan Mei ’98 yang menciptakan gelombang trauma psikis tidak hanya bagi korban tetapi juga pelaku kerusuhan. “Argumentasi sentral proposal ini salah satunya berangkat dari hipotesis sebagaimana disampaikan Racy dan Robins (2007) bahwa perasaan bersalah atau negatif muncul atas perilaku yang dilakukan,” sambungnya. Hendra kemudian mengetengahkan beberapa orang yang menjadi pelaku dan korban yang sama-sama mengalami trauma akibat tragedi Mei ’98 hingga saat ini. Ayub adalah salah satunya.
Selama satu jam lebih Hendra berusaha mempertahankan gagasan proposal risetnya tentang bagaimana kerusuhan Mei ’98 merenggut kesehatan mental semua yang terlibat di dalamnya. Mereka yang beruntung mungkin hanya samar-samar terkenang akan keramaian, bumbungan asap, atau teriakan-teriakan massa. Namun, bagi pelaku atau korban, Mei ’98 merupakan monumental kehidupan yang berdampak signfikan bagi kehidupan mereka dari titik kejadian itu hingga seterusnya. “Saya yakin dengan metode fenomenologi di bawah bimbingan Prof. Burton, saya bisa menyelesaikan penelitian ini tepat waktu,” pungkasnya.
*
Siang hari yang cerah disertai angin laut yang datang sepoi-sepoi membuat mata Putri begitu berat. Maskara bening yang ia pakai terasa ditiup lembut oleh sang angin. Wangi bunga-bunga daisy di seberang selasar tempat duduknya seakan menyebarkan semacam obat penenang. Wajah bening dan muda itu kian bersinar. Pantulan sinar mentari di musim semi merona pada pipi dan bibirnya yang mungil. Putri merasakan kedamaian yang jarang ia temukan dalam kesehariannya di Jakarta.
Lingkungan akademis di mana pun ia berada memang selalu menawarkan payung keteduhan dari rutinitas pragmatis. Apabila tidak ada derap langkah kaki dari ujung lorong, dia pasti sudah terlelap di amben yang terbuat dari kayu mahogani ini. Putri lekas berdiri, baju terusan hijau berbahan sutra yang dipakainya terkirai perlahan oleh angin, begitu pula rambut hitamnya yang tergerai. Mata beningnya memandang penuh Hendra yang semakin dekat.
“Aku lolos!” pekik Hendra diikuti derai tawa yang renyah. Mereka berpelukan bahagia, tetapi segera terlepas karena Hendra tidak nyaman dengan setelan formal yang ia kenakan. “Dasi ini kekencengan,” selorohnya sambil melonggarkan simpul ikatan. Bulir-bulir keringat yang membasahi kening dan lehernya segera istrinya usap dengan sapu tangan. “Jadi ngabarin Mas Mugi?” tanya Putri mengingatkan. Mata Hendra berbinar, dia langsung merogoh kantongnya dan menggulir daftar kontak di ponselnya. “Ndra?” dari ujung suara. “Gi? Gue lolos Gi, gue lolos,” serunya.
Di ujung sambungan, Mugiyanto seakan bisa membayangkan ekspresi wajah karibnya yang sedang bergembira. Dia mendengarkan dengan seksama kilasan rangkaian presentasi proposal risetnya yang berlangsung cukup intens. Tiada perasaan lain, selain bangga dan terharu atas pencapaian sahabatnya itu. “Sorry yah gak bisa datang ke sana,” ujar Mugiyanto. “Gak masalah. Gue justru yang kangen sama konseling mingguan kita. Udah nemu namanya gak?”
Mugiyanto tersenyum. Tiga bulan semenjak terapi kelompok pertama yang diikuti Hendra, Yusron, dan Ayub. Tiada yang menyangka jika konseling kelompok itu lambat laun berkembang dan menarik perhatian sesama psikolog di seantero Jakarta. Topik serupa tentang penyembuhan trauma akibat kerusuhan Mei 1998 belum pernah menjadi agenda kelompok, kecuali di komunitas-komunitas kecil seperti IKOHI[1].
Sekarang, informasi penyelenggaraan konseling kelompok ini mulai ramai diikuti lebih banyak korban-korban trauma ’98 setiap minggunya. Baik secara sukarela maupun atas rekomendasi atau rujukan psikolog yang menangani korban. Mereka berikhtiar untuk bangkit bersama dari keterpurukan. Dan kehadiran kelompok konseling Mugiyanto ini bak sistem pendukung yang sesungguhnya mereka butuhkan jauh-jauh hari sebelumnya. “Ada Pepeling, Eling ’98, belum nemu nama pasti Ndra. Nunggu kamu balik dari Queensland sekalian,” selorohnya.