Pukul 8 malam. Aku menangis seorang diri di sudut tempat tidurku. Duduk meringkuk dengan kedua telapak tangan menutupi wajahku. Entah sudah berapa jam aku menangisi keadaan yang baru saja menimpaku. Aku diputuskan begitu saja oleh Mas Eki setelah memergokinya selingkuh dengan perempuan lain.
Padahal kita baru saja pulang setelah menghabiskan waktu liburan bersama selama satu minggu di Pulau Selayar dalam rangka merayakan hari jadi kita yang ketiga. Dia juga memberiku sebuah kejutan berupa cincin yang indah pada hari terakhir sebelum kepulangan kita sebagai tanda bahwa ia telah melamarku. Tiga tahun kami menjalin hubungan dan aku merasa menjadi wanita paling bahagia dicintai olehnya sore itu.
Pada keesokan harinya setelah tiba di kediaman masing-masing, aku berkunjung ke rumah Mas Eki untuk mengambil beberapa pakaian dan oleh-oleh yang kemarin sempat kutitipkan di ranselnya. Jarak tempat tinggalku dengan rumah Mas Eki cukup dekat. Hanya sekitar 5-10 menit berkendara dengan sepeda motor. Aku juga membawakan bubur ayam yang kubeli di dekat rumahnya untuk sarapan berdua.
Salah satu kebiasaan Mas Eki yang hanya diketahui olehku adalah dia tidak pernah mengunci pintu rumahnya jika sedang ada di rumah meski pada malam hari sekalipun. Dia hanya mengunci pintu rumahnya ketika sedang pergi jauh atau ditinggalkan berhari-hari. Dia mengatakan dengan bangga bahwa lingkungan tempat tinggalnya adalah tempat paling aman di muka bumi ini. Aku hanya mengiyakan omongannya.
Sesampainya di rumah Mas Eki, aku segera membuka pintu rumahnya dan tentu saja tidak dikunci. Maka kutahu pasti kalau Mas Eki sedang ada di rumah.
“Mas Eki sayang, I’m coming,” sapaku dengan suara nyaring begitu aku masuk ke rumahnya.
“Hmm, kok sepi. Ah, mungkin dia masih tidur karena kecapekan,” batinku.
“Mas, aku bawain bubur ayam kesukaanmu loh. Aku taruh di dapur ya,” kataku sembari berjalan menuju dapur. Tidak ada jawaban.
Aku segera meletakkan dua kantong berisi bubur ayam tersebut di meja dapur. Ketika aku akan melangkah menuju kamar Mas Eki untuk membangunkannya, aku mendengar suara keran air mengalir di kamar mandi. Lampu kamar mandi juga menyala.
“Kamu lagi mandi ya Mas? Tumben jam segini udah mandi, hihi,” godaku. Masih hening. Tidak ada jawaban.
“Ah, mungkin suaraku kalah sama suara keran air. Yaudahlah, aku nungguin di kamarnya aja sambil rebahan. Pegel banget punggungku ini,” batinku lagi.
Aku segera melenggang menuju ke kamarnya dan betapa terkejutnya aku dengan apa yang kulihat di depan mata kepalaku sendiri. Mas Eki tampak masih tertidur pulas di ranjangnya bertelanjang dada.
“Hah?! Jadi siapa yang sedang mandi di belakang?” batinku bertanya-tanya.