Keesokan paginya aku terbangun dengan kepala yang sangat pening dan kantung mata yang bengkak. Entah sudah berapa lama aku menangis hingga akhirnya aku tertidur. Aku mengambil jatah cuti selama seminggu ditambah ada 2 hari libur nasional, jadi masih tersisa 2 hari lagi sebelum aku kembali bekerja.
Aku meraih ponselku yang tergeletak di samping tempat tidur untuk mengecek jam. Sudah jam 10 pagi rupanya. Kulihat ada beberapa notifikasi yang muncul di ponselku. 10 pesan belum dibaca dan 5 panggilan tak terjawab. Semuanya dari Rara, sahabat karibku semenjak duduk di bangku SMA.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang kulakukan terakhir kali. Oh iya, aku ingat semalam aku menulis pesan yang panjang ke Rara tentang apa yang kualami. Aku pasti tertidur setelah itu. Sambil memijat kepalaku yang masih pening, aku membaca pesan dari Rara. Belum selesai aku membaca semua pesan darinya, ponselku kembali berdering. Telepon dari Rara.
“Halo, Lea. Ya ampuuun, akhirnya lu angkat juga telepon dari gue. Lu nggak kenapa-kenapa kan? Lu diem di situ aja, ya. Jangan ke mana-mana. Nggak usah ngapa-ngapain. Tungguin gue. Gue udah setengah perjalanan menuju ke tempat lu. Tunggu.” Rara langsung menyerocos begitu aku mengangkat teleponnya.
“Iya, gue masih di sini kok. Sorry Ra gue baru bangun tidur,” jawabku dengan suara parau.
“Iya nggak apa-apa. Pokoknya lu jangan berbuat yang aneh-aneh. Jangan ke mana-mana. Diem dulu di situ. Tenangin diri dulu. Oke? Tunggu, tungguin gue ya.” Dari nada bicaranya, kutahu pasti kalau Rara sangat khawatir dengan keadaanku.
Kurang lebih satu setengah jam kemudian, Rara tiba di kontrakanku. Dia langsung datang memelukku yang masih duduk di tempat tidur.
“Sorry Lea gue baru nyampe. Kemarin gue kena jadwal shift malam, jadi nggak bisa langsung datang ke tempat lu. Tadi juga gue buru-buru pulang supaya bisa segera nyamperin lu sampai kagak sempat mandi, haha.” Rara menjelaskan dengan gaya bicara cerewetnya yang khas.
“iya, gapapa. Thanks ya, Ra udah mau ke sini,” kataku.
“Lu nggak kenapa-kenapa, kan? Lu nggak diapa-apain kan sama dia?” Rara membolak-balikkan wajahku, memeriksa kedua tanganku dan mengecek dahiku. Barangkali aku ada luka memar atau demam.
“Nggak kok, Ra. Gue nggak kenapa-kenapa. Badan gue aman,” jawabku mencoba menenangkan Rara.
“Syukurlah. Batin gue lega kalau udah bisa lihat muka lu secara langsung, Lea. Gue khawatir banget soalnya,” kata Rara sambil menghela napas lega.
“Lu pasti khawatir gue bakal ngelakuin hal konyol itu lagi, kan?” tanyaku ke Rara.