"Lo ngapain, Ga? Dari tadi diem aja depan laptop, tapi nggak ngetik apa-apa," suara Yakin terdengar dari pintu kamar apartemen Arga yang setengah terbuka.
Arga menghela napas, tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptopnya yang kosong. "Niatnya mau nulis, tapi... kayaknya nggak ada ide yang keluar."
Yakin melangkah masuk, melirik layar laptop Arga yang sama sekali belum terisi, berdiri di samping Arga, dan kemudian menatap sahabatnya yang terlihat begitu lelah. Ia bisa melihat bayangan kegelisahan yang selama ini menyelimuti Arga, tetapi Yakin memilih untuk tidak langsung menanggapi. Ia tahu bahwa ini bukan pertama kalinya Arga merasa terjebak dalam kebingungan, dan bukan juga pertama kalinya ia menjadi pendengar setia curhatan sahabatnya.
Yakin duduk di kursi di sebelah Arga, menunggu hingga Arga siap untuk bicara. Seperti biasa, Arga selalu memulai dengan helaan napas panjang, seolah ada beban yang sulit diungkapkan. Lalu, tanpa menoleh, ia mulai bicara.
"Kadang gue mikir, hidup gue ini buat apa, bro?" Suara Arga terdengar lelah. "Gue dulu punya mimpi, lo tau kan? Gue pengen jadi penulis, bikin novel yang bisa ngena di hati orang-orang, kayak Brian Khrisna. Gue pengen karya gue diingat, pengen orang baca cerita gue dan merasa terhubung sama karakter-karakternya. Tapi... kenyataannya? Nih, liat," Arga menunjuk layar laptopnya, yang kosong. "Setiap gue buka laptop buat nulis, rasanya otak gue langsung nge-blank. Gak ada ide yang keluar. Kayak, gue gak punya kemampuan buat nulis lagi."
Yakin hanya mengangguk, matanya tetap fokus pada Arga, mendengarkan tanpa menginterupsi.
"Semua ide yang dulu gue punya, semua mimpi gue... sekarang rasanya jauh banget. Setiap kali gue coba nulis, gue malah ngeluh. Kadang gue bosen sendiri sama hidup gue. Gimana gue bisa maju kalau gue bahkan nggak bisa nulis satu halaman pun?" Arga melanjutkan, dengan nada frustrasi. "Gue tau, gue buang-buang waktu nonton anime terus. Tapi gimana ya? Nonton itu bikin gue lupa sama kenyataan. Setidaknya, waktu gue nonton, gue bisa lari dari tekanan yang gue rasain."
Arga berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Lo pernah nggak sih ngerasa stuck kayak gini? Kayak lo tau apa yang seharusnya lo lakukan, tapi lo nggak bisa gerak. Lo tau lo salah, tapi lo juga nggak tau gimana caranya buat benerin keadaan? Gue capek, bro."
Yakin tetap diam, membiarkan Arga meluapkan perasaannya.
"Setiap hari, gue bangun, gue coba nulis, dan setiap hari juga gue gagal. Gue buka laptop, tapi gak ada satu kata pun yang bisa gue tulis. Kadang gue mikir, mungkin gue nggak pernah bisa jadi penulis. Mungkin itu cuma mimpi kosong. Lo tau kan, gimana orang-orang sekitar kita? Mereka semua udah pada sukses, punya karir yang jelas, ada yang nikah, ada yang udah punya anak. Sedangkan gue? Gue masih di sini, duduk depan laptop, berharap sesuatu berubah. Hidup gue ini kayak nggak ada arah."
Arga terdiam sebentar, matanya menatap lurus ke layar laptop. Namun, kali ini bukan untuk menunggu inspirasi. Ia hanya tenggelam dalam pikirannya sendiri.
"Gue nggak pengen jadi beban buat orang tua gue. Mereka udah banyak berkorban buat gue, terutama nyokap. Dia selalu percaya gue bakal sukses suatu hari nanti, bakal jadi penulis. Tapi gue? Gue nggak tau harus jawab apa kalau dia nanya, 'Kapan buku pertama kamu selesai?' Itu pertanyaan yang selalu gue hindari. Gue nggak tau jawabannya, kin."
Yakin bisa merasakan betapa beratnya kata-kata Arga itu. Dia paham, Arga sedang menghadapi pertarungan dengan dirinya sendiri, lebih dari apa pun. Dia tahu bahwa menasihati Arga sekarang tidak akan membantu. Sebagai teman dekat, Yakin memilih untuk tetap menjadi pendengar yang baik. Dia tidak ingin memberikan solusi instan yang mungkin hanya akan terdengar klise atau bahkan membuat Arga semakin tertekan. Dia tahu Arga tidak membutuhkan itu.
"Gue juga tau, utang gue makin menumpuk. Pekerjaan gue nggak cukup buat nutupin semuanya, apalagi buat ngejar mimpi gue. Gue cuma punya pekerjaan biasa, yang nggak ada hubungannya sama menulis. Gue bukan kayak Brian Khrisna, yang bisa menghasilkan karya keren sekaligus sukses. Dan gue ngerasa... gue udah nyerah."
Yakin menatap Arga dengan penuh pengertian, menunggu apakah Arga akan melanjutkan. Setelah beberapa saat, Arga kembali bicara, kali ini dengan nada yang lebih pelan.
"Lo inget Naya?" tanya Arga tiba-tiba, membuat Yakin sedikit terkejut.
Yakin mengangguk. "Iya, gue inget."