Mimpi dibalik layar

Bangbooszth
Chapter #2

Memoar seorang penulis

"Selamat pagi, Pak," sapa Arga dengan senyum yang masih segar begitu memasuki kantor. Tempat kerja ini tak terlalu besar hanya sebuah kantor distributor dengan beberapa ruangan kecil yang dihiasi rak-rak penuh barang. Udara pagi masih terasa sejuk, dan sinar matahari pagi masuk melalui jendela besar di ruang utama.


Di hari-hari awal bekerja, semuanya masih terasa ringan bagi Arga. Baru tiga bulan sejak ia lulus SMK, dan ini adalah pekerjaan pertamanya. Sebagai admin di distributor, tugas Arga adalah mencatat pesanan, mengelola stok, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Meskipun pekerjaan ini tak sesuai dengan cita-citanya menjadi penulis, Arga tetap merasa senang. Setidaknya, ia merasa sudah mandiri, tak lagi bergantung pada keluarganya.


"Eh, Arga!" panggil Bu Rina, rekan kerja yang duduk di meja sebelahnya. "Pagi-pagi udah datang aja, semangat banget kayaknya."


Arga tersenyum sambil menaruh tasnya di kursi. "Iya, Bu. Biasa, masih fresh. Belum ada beban, belum pusing."


Bu Rina tertawa kecil. "Liat aja nanti kalau udah lama kerja di sini, setiap hari bakal ngeluh capek."


Arga hanya terkekeh. "Mudah-mudahan nggak ya, Bu. Tapi emang kerjaan di sini nggak terlalu berat kok."


Arga duduk di meja kerjanya, menyalakan komputer yang sedikit usang tapi masih bisa diandalkan untuk tugas-tugas sederhana. Sambil menunggu komputer menyala, dia melirik sekeliling kantor. Semua orang tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pak Anton, kepala gudang, sedang sibuk mengecek stok barang, sementara Pak Andi, atasan Arga, mondar-mandir dengan telpon di telinga, mengatur pengiriman.


Arga pun mulai membuka e-mail masuk, memeriksa daftar pesanan yang harus diproses hari itu. Ia mencatat beberapa barang yang harus segera dipersiapkan untuk klien. Setiap detik di kantor berjalan dengan lancar. Rutinitas yang monoton, tapi menenangkan. Bagi Arga, ini adalah permulaan hidup mandiri yang ia idam-idamkan sejak lama.


Sekitar jam sepuluh pagi, suara pintu terbuka terdengar dari belakang Arga. "Ga, ada tamu buat lo," kata Pak Anton sambil menunjuk ke arah pintu. Arga menoleh dan mendapati seorang pria sebayanya berdiri di sana, dengan wajah penuh senyum.


"Kin!" seru Arga. Ternyata itu Yakin, sahabatnya yang baru saja datang berkunjung. "Ngapain lo ke sini?"


Yakin melangkah masuk, menyalami Arga dengan senyum lebar. "Gue lagi lewat, bro. Sekalian mampir aja lihat lo. Gimana, kerjaan lo enak?"


Arga tersenyum. "Ya gitu deh. Lumayan lah. Yang penting nggak nganggur."


Mereka tertawa bersama. Bu Rina yang duduk tak jauh dari situ ikut tersenyum melihat keakraban mereka. "Oh, ini Yakin, ya? Sahabat lo yang sering lo ceritain itu?" tanya Bu Rina.


"Yap, bener, Bu," jawab Arga sambil menoleh ke Yakin. "Ini Bu Rina, kim. Salah satu senior gue di sini."


Yakin mengangguk sopan. "Oh, halo, Bu. Makasih udah bantu Arga di sini."


"Nggak apa-apa, anak muda kayak dia mah gampang belajarnya," kata Bu Rina. "Paling kadang dia suka ngelamun aja, entah mikirin apa."


Arga tertawa malu, sementara Yakin meliriknya dengan senyum menggoda. "Ngapain lo ngelamun di tempat kerja, Ga?"


"Ya biasa lah," jawab Arga sambil mengangkat bahu. "Kadang suka kepikiran nulis. Tapi gimana mau nulis, kerjaan numpuk gini."


Yakin mendekat, menepuk bahu Arga. "Gimana Brian Khrisna bisa sukses kalau dia cuma ngelamun doang?"


Arga tersenyum kecut. "Iya, gue tau."


Bu Rina yang mendengar percakapan itu ikut tersenyum kecil. "Brian Khrisna itu penulis yang lo idolain ya, Ga? Sering denger nama itu dari lo."


Arga mengangguk. "Iya, Bu. Gue pengen kayak dia suatu hari nanti. Tapi untuk sekarang, ya gue fokus kerja dulu aja."


Setelah berbincang sebentar lagi, Yakin pun pamit. Arga kembali duduk di mejanya, mencoba fokus pada pekerjaan, Ia memang senang dengan stabilitas yang pekerjaan ini berikan, tapi dalam hati kecilnya, ada rasa takut. Takut terjebak dalam rutinitas yang akhirnya mengubur mimpi-mimpinya.


Setelah selesai memproses beberapa pesanan, jam makan siang tiba. Arga mengambil nasi bungkus dari warung depan dan kembali ke meja kerjanya. Bu Rina duduk di sebelahnya, membuka kotak makan siangnya.


"Ga, lo beneran suka nulis, ya?" tanya Bu Rina tiba-tiba.


Arga terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Iya, Bu. Gue pengen banget jadi penulis. Tapi... ya gitu, waktu dan tenaga suka habis buat kerja."


Bu Rina tersenyum bijak. "Sebenarnya, nggak ada yang salah sama punya mimpi besar, Ga. Kadang kita memang harus berjuang lebih keras buat itu. Tapi jangan sampai lo merasa terlalu nyaman sama rutinitas, karena nanti bisa bikin lo lupa sama apa yang sebenarnya lo kejar."


Arga merenung sejenak mendengar nasihat itu. "Iya, Bu. Gue bakal inget itu."


Setelah makan siang, Arga kembali bekerja. Dia melanjutkan tugasnya dengan tenang.

Lihat selengkapnya