"Kopi lo mau pake gula nggak?" tanya Arga sambil memegang dua gelas kopi plastik dari kios kecil di tepi danau. Sore itu, angin berhembus sejuk, membelai lembut rambut mereka yang duduk di bawah pohon rindang di sekitar danau. Suasana di sini cukup ramai, kebanyakan mahasiswa yang datang untuk sekadar bersantai atau menikmati waktu sore di kampus.
"Nggak pake gula, gue lagi jaga berat badan," jawab Yakin dengan senyum sinis.
Arga tertawa kecil sambil menyerahkan kopinya. "Gaya lo, Kin. Ngomongin jaga berat badan, tapi kemarin lo makan nasi goreng jumbo sambil nambah sate."
Yakin mengangkat bahu. "Sekali-sekali boleh lah. Yang penting, kan, hari ini minum kopi pahit. Biar balance." Dia menyeruput kopi itu dengan perlahan, kemudian menatap danau yang berkilauan terkena sinar matahari senja.
Arga ikut duduk di sebelah Yakin, menyesap kopinya. Udara sore yang sejuk dan pemandangan tenang membuatnya sedikit lebih rileks.
"Jadi, lo ngajak gue ke sini buat apa?" Yakin menoleh ke Arga dengan alis terangkat. "Tumben lo ngajak keluar. Biasanya lo lebih sering di kosan nonton anime."
Arga mendesah, menatap ke arah danau yang tenang di depan mereka. "Gue butuh inspirasi, Kin. Gue stuck banget nulis. Sumpah, ide di kepala gue kayak gak ada yang bisa dipakai. Gue nggak tahu lagi harus gimana."
Yakin diam sejenak, mendengarkan dengan seksama tanpa menghakimi. Ia tahu sahabatnya ini memang sering menghadapi dilema seperti ini. Arga selalu punya mimpi besar, tapi kenyataan sering kali mengalahkan semangatnya.
"Lo tahu," Yakin akhirnya berkata pelan, "mungkin lo terlalu memaksa diri. Inspirasi kadang datang ketika lo nggak mencarinya."
Arga mengernyit. "Maksud lo?"
"Ya, lo sering kan ngerasa buntu? Itu mungkin karena lo terlalu ngoyo buat nemu ide. Kadang, lo cuma butuh lepasin semuanya, biar pikiran lo bisa santai." Yakin meneguk kopinya lagi. "Lagian, lo nggak bisa nulis kalau lo terus-terusan mikirin gimana hasilnya. Lo harus nikmatin prosesnya dulu."
Arga terdiam, merenungkan kata-kata Yakin. "Iya, sih... tapi gue nggak bisa ngelepasin pikiran ini. Setiap kali gue nulis, gue selalu mikir 'Ini bakal jadi bagus nggak ya?'. Dan gue takut kalau ternyata nggak sebagus yang gue bayangin."
"Ya itulah masalah lo, Ga. Lo terlalu fokus sama hasil. Gue tahu lo pengen jadi kayak Brian Khrisna, tapi dia juga mulai dari nol, bro. Lo nggak bisa langsung ngehasilin karya fenomenal dari pertama nulis." Yakin menatap Arga dengan serius. "Santai aja, nikmatin prosesnya. Lo cuma butuh nulis apa yang lo suka, bukan apa yang lo rasa orang lain bakal suka."
Arga menghela napas panjang, memandang jauh ke arah danau yang mulai berwarna jingga akibat pantulan cahaya senja. "Kadang gue ngerasa nggak cukup bagus, Kin. Kayak... mimpi gue terlalu tinggi."
Yakin hanya tersenyum kecil, lalu menepuk pundak Arga. "Semua orang mulai dari bawah, Ga. Gue yakin lo bisa, tapi lo harus mulai dari satu langkah kecil dulu. Jangan keburu ngejar hasil akhir."
Mereka berdua terdiam sesaat, menikmati suasana sore yang semakin ramai di sekitar mereka. Beberapa pasangan mahasiswa duduk di pinggir danau, bercanda dan berbagi cerita, sementara di kejauhan, terdengar suara anak-anak muda yang bermain gitar. Sore itu terasa damai, namun di kepala Arga, masih ada keributan besar yang belum bisa ia atasi.
"Gue pengen nulis, Kin. Gue serius banget pengen jadi penulis," Arga memecah keheningan, suaranya terdengar tulus dan sedikit lelah. "Tapi gue nggak tahu harus mulai dari mana."
Yakin memandang Arga dengan tatapan yang lebih lembut. "Mulai aja dari apa yang lo rasain sekarang. Tulisin perasaan lo, kebuntuan lo, frustrasi lo. Semua itu bisa jadi cerita yang bagus kalau lo jujur. Jangan kebanyakan mikir. Tulisan lo bakal punya nyawa kalau lo tulis dari hati."
Arga menatap Yakin, merasa sedikit lebih ringan. "Lo bener, sih. Gue mungkin terlalu banyak mikir."
"Tuh kan, lo sendiri yang bilang," Yakin menyeringai. "Kadang, otak lo perlu istirahat. Jadi, nikmatin dulu kopi lo, liat sunset, dan jangan terlalu dipaksa."