Mimpi dibalik layar

Bangbooszth
Chapter #4

Noda es krim dan cinta pertama

"Udah satu jam, Ga. Lo yakin dia bakal muncul?" Yakin menatap Arga dengan ekspresi skeptis, sambil menyeruput minuman dinginnya. Mereka berdua sudah duduk di sudut Gramedia selama hampir sejam, dan Naya belum juga terlihat.


"Ya gue nggak tau juga, Kin. Ini kan cuma percobaan. Sabar lah," balas Arga sambil berpura-pura serius melihat buku yang sama sejak tadi. Padahal matanya sibuk melirik ke pintu masuk setiap beberapa detik.


Yakin tertawa kecil, meletakkan gelas plastiknya. "Percobaan? Lo pikir ini eksperimen sains? Kalo nggak berhasil, kita bakal ke sini tiap hari sampe ketemu dia lagi, ya?"


Gue sih seneng-seneng aja nemenin lo. Tapi kalau nggak ketemu hari ini, kita harus punya rencana cadangan."


"Rencana cadangan? Apa tuh?"


Yakin tersenyum jahil dari tempat duduknya. "Lo kasih pengumuman di radio, 'Cewek cantik bernama Naya yang kemarin rebutan buku, silakan temui cowok ganteng bernama Arga di Gramedia sekarang juga.'"


Arga tertawa kecil, meski gugupnya belum hilang. "Anjir, lah."


"Gue cuma pengen ketemu dia lagi, itu aja. Lagian, siapa tau ketemu di sini kan lebih keren daripada gue tiba-tiba minta nomor tanpa alasan."


"Ah, alasan," Yakin menyeringai. "Padahal lo nggak berani minta nomor kemarin, ya?"


"Nggak usah bahas itu lagi," Arga merengut, merasa sedikit malu. "Gue nggak kepikiran aja waktu itu."


Yakin tertawa keras. "Nggak kepikiran? Bro, itu hal pertama yang harus lo lakuin! Lo udah rebutan buku bareng, itu udah kayak momen sinetron. Pas banget lo tinggal bilang, 'Eh, nomornya dong!'"


Arga mendesah, mencoba mengabaikan Yakin. "Lagian gue nggak mau keliatan buru-buru. Gue kan cowok santai, bukan yang maksa-maksa."


"Oh iya, lo santai banget sampe sekarang lo malah nungguin di sini kayak security Gramedia." Yakin terkekeh lagi, puas menggoda sahabatnya.


"Diam deh, lo." Arga memukul pelan lengan Yakin, tapi dalam hati ia juga sedikit terhibur. "Lagian ini bukan cuma soal dia. Gue juga emang nyari inspirasi buat nulis."


"Ya ya, inspirasi. Inspirasi buat gimana caranya ngajak Naya kencan, kali."


Tepat saat Yakin selesai berbicara, mata Arga melotot. "Eh, Kin! Itu dia!" serunya sambil menahan suara agar tidak terlalu keras.


Yakin menoleh cepat, lalu tersenyum lebar. "Aha! Tuh kan, taktik nunggu lama-lama ternyata berhasil juga."


Naya masuk ke Gramedia dengan langkah santai, mengenakan kemeja biru muda yang sama seperti kemarin, dan tas selempang kecil di pundaknya. Arga langsung gugup lagi. "Oke... oke, sekarang apa, Kin? Gue harus ngapain?"


"Lo tinggal maju ke sana, pura-pura lagi liat buku di dekat dia, terus ngobrol deh," kata Yakin, dengan nada seperti instruktur militer yang memberi perintah.


"Maju gimana? Gimana kalo dia mikir gue aneh?" Arga tampak panik.


Yakin memukul kepala Arga pelan dengan buku yang dipegangnya. "Bro, lo udah aneh. Tapi ya, coba aja. Sapa dia. Gampang kan?"


Arga mengambil napas dalam-dalam, lalu berjalan mendekati rak tempat Naya berdiri. Naya tampaknya sedang mencari buku, sama seperti kemarin. Arga mencoba bersikap santai, padahal keringat dingin mulai muncul di punggungnya.


"Eh, Naya, kan?" Arga akhirnya membuka percakapan dengan suara setenang mungkin.


Naya terkejut sedikit, lalu menoleh ke arah Arga. Wajahnya langsung cerah dengan senyuman ramah. "Oh, iya! Arga, kan? Kita ketemu kemarin. Kamu yang rebutan buku sama aku."


Arga tertawa canggung, merasa sedikit lega karena Naya masih ingat. "Iya, iya. Kita ketemu lagi, ya. Lagi nyari buku yang sama, nih?"


Naya tertawa kecil. "Enggak kok, sekarang lagi nyari buku yang lain. Kamu sendiri?"


"Oh, aku... ya, nyari inspirasi buat nulis sih, kayak kemarin. Lagi mandek," jawab Arga sambil berharap suaranya tidak terdengar terlalu gugup.


Naya tersenyum, terlihat tertarik. "Oh, masih nulis novel? Gimana progress-nya?"


"Err... yah, bisa dibilang... jalan di tempat," Arga mengaku dengan jujur. "Makanya sering ke sini, siapa tau dapet ide baru."


Naya mengangguk penuh perhatian. "Seru juga ya, bisa nulis novel. Pasti butuh banyak imajinasi."


Arga merasa sedikit lebih rileks. "Iya, tapi kadang imajinasi suka mandek. Kayak sekarang nih."


"Duh, jangan-jangan mandeknya gara-gara mikirin aku?" Naya bercanda, lalu tertawa kecil.


Arga tertawa gugup, mencoba mengikuti candaannya. "Mungkin aja. Rebutannya cukup dramatis sih.kayak adegan film. Jadinya terngiang-ngiang"


Naya tertawa lebih keras. "Iya, nggak nyangka cuma buat satu buku kita kayak di film laga. Untung nggak ada yang jatuh tersandung atau nyenggol rak buku."

Lihat selengkapnya