“Hari ini gila banget, Bu,” keluh Arga sambil menaruh tumpukan berkas di atas meja istirahat kecil di ruang karyawan. Dia duduk dengan napas terengah-engah, wajahnya terlihat lelah. “Tugas nggak habis-habis, kayaknya semua orang lempar kerjaan ke saya.”
Bu Rina, atasan langsung Arga di distributor itu, menatapnya dengan pandangan penuh pengertian sambil menyeruput teh hangat dari cangkirnya. Dia adalah wanita paruh baya yang bijaksana, dengan senyuman lembut yang selalu menenangkan hati siapa pun yang berbicara dengannya. “Kamu terlihat kewalahan, Arga. Dari pagi kamu udah mondar-mandir kayak robot.”
Arga mengangguk pasrah. “Iya, Bu. Tugas dari bagian logistik, laporan stok, sampai ngecek pengiriman hari ini semua dilempar ke saya. Saya sampai bingung mana yang harus diselesaikan dulu.”
Bu Rina tersenyum kecil, lalu meletakkan cangkir tehnya. “Itu wajar, Arga. Kamu memang pekerja keras, dan orang-orang di kantor tahu itu. Tapi ingat, nggak semua harus kamu selesaikan sendiri dalam satu waktu.”
Arga menunduk, menatap berkas-berkas yang dia bawa. "Saya ngerti, Bu. Tapi kadang rasanya seperti nggak ada yang peduli sama beban kerja saya. Semua orang ngasih tugas tanpa mikir."
Bu Rina menghela napas panjang. "Kamu harus belajar bilang 'tidak', Ga. Kalo semua kamu terima, ya kamu sendiri yang kelelahan. Nanti malah performa kerja kamu yang kena."
Arga menggelengkan kepala lemas. "Saya tahu, Bu. Tapi rasanya gimana ya... kayak saya nggak punya pilihan. Saya harus buktikan kalau saya bisa, apalagi saya masih baru di sini. Nggak enak kalau langsung nolak."
Bu Rina tersenyum lagi, kali ini dengan nada menenangkan. “Arga, saya paham perasaan kamu. Dulu waktu saya pertama kali bekerja, saya juga punya pikiran yang sama. Tapi percayalah, lebih baik kamu mengelola tugas dengan bijak daripada menerima semuanya sekaligus dan akhirnya malah burn out.”
Arga terdiam sejenak, merenung. Dia tahu apa yang dikatakan Bu Rina benar, tapi dalam hatinya ada dorongan kuat untuk selalu membuktikan diri. Terutama dengan latar belakang hidup yang berat, Arga merasa dia harus bekerja lebih keras dari orang lain.
“Kadang saya ngerasa, Bu... kalau saya nggak kerja keras sekarang, saya nggak akan bisa maju. Saya nggak punya banyak pilihan,” gumam Arga pelan.
Bu Rina menatapnya penuh simpati. “Kamu berusaha untuk membuktikan sesuatu, ya?”
Arga mengangguk. “Iya, Bu. Saya pengen buktiin kalau saya bisa mandiri, nggak tergantung sama siapa pun. Saya nggak mau jadi beban buat orang lain... terutama keluarga saya.”
“Arga…” Bu Rina menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Saya tahu kamu orang yang kuat dan pekerja keras. Tapi ingat, hidup ini bukan cuma soal membuktikan diri. Kamu juga perlu istirahat dan menikmati prosesnya. Kalau kamu terus-terusan terbebani, kapan kamu mau menikmati hasilnya?”
Arga terdiam, mencoba mencerna kata-kata Bu Rina. Ada rasa sesak yang tiba-tiba muncul di dadanya, mengingat beban hidup yang dia pikul sejak dulu. Meski begitu, dia hanya bisa tersenyum lemah. “Iya, Bu. Saya ngerti maksud Ibu. Tapi kadang susah buat saya berhenti.”
Bu Rina tersenyum lembut, lalu menepuk pundak Arga. "Kamu akan belajar, Ga. Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Satu langkah kecil lebih baik daripada terjatuh karena terburu-buru."
Arga mengangguk, walaupun dalam hatinya masih terasa sedikit bimbang. Setelah menghabiskan istirahat dengan mengobrol bersama Bu Rina, Arga kembali ke meja kerjanya, mencoba mengatur ulang prioritasnya. Namun, perasaan tertekan dan kebingungan tetap membayangi pikirannya.
Saat pulang kerja, perasaan lelah mental itu masih mengikuti Arga. Sesampainya di kosan, dia hanya bisa berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Laptopnya masih menyala di meja, tugas menulis yang seharusnya ia kerjakan tetap terbengkalai.
"Aku perlu keluar, perlu udara segar," bisik Arga pada dirinya sendiri. Mungkin sekadar mencari tempat tenang untuk menyegarkan pikiran.