Mobil melaju lambat di jalan yang padat, klakson dari berbagai arah terus-menerus terdengar, menambah sesaknya suasana sore itu. Surabaya memang terkenal macet pada jam-jam seperti ini jam pulang kerja di mana semua orang berlomba untuk sampai ke rumah lebih cepat, tapi bagi Arga, waktu terasa seperti bergerak terlalu lambat. Semakin lama ia terjebak di kemacetan ini, semakin tak terkendali emosinya.
“Ini gila! Gimana kita bisa cepet sampai kalau macetnya kayak gini, sih?” Arga membanting setir mobil, kepalan tangannya memutih. Matanya tajam menatap jalan di depannya yang tak kunjung bergerak.
Yakin yang duduk di sampingnya, berusaha menenangkan situasi. "Sabar, Ga. Kita pasti nyampe kok. Kita udah di jalan, itu yang penting."
"Sabar? Lo suruh gue sabar?" Arga menoleh dengan mata menyala, kemarahan di dalam dirinya sudah tak bisa ditahan lagi. “Ini nyawa nyokap gue yang dipertaruhkan, Kin! Setiap detik bisa aja dia… bisa aja dia…”
Arga tak sanggup menyelesaikan kalimatnya. Pikirannya terus menerka hal-hal terburuk yang mungkin terjadi pada ibunya. Dia memukul stir mobil keras, frustasi meluap. "Gue nggak bisa diem aja nunggu di sini kayak gini! Kita harus jalan lebih cepet!"
Namun, jalanan tetap tak bersahabat. Deretan mobil yang tak bergerak, motor-motor yang memadati setiap celah kecil yang ada, semuanya membuatnya merasa terjebak dalam waktu. Arga menekan klakson berkali-kali, berharap ada keajaiban yang membuat jalanan tiba-tiba terbuka. Namun, hanya kebisingan tambahan yang ia hasilkan.
Yakin, yang sejak tadi berusaha tetap tenang, mencoba memberikan perspektif lebih rasional. “Lo mau marah gimana juga, tetep aja nggak bakal bikin jalanan ini jadi lancar. Lo nggak bisa kontrol ini, Ga.”
“Tapi gue harus bisa sampai secepatnya, Kin! Gue nggak bisa tunggu lama!” teriak Arga, kepalanya semakin panas. Ketika mobil di depannya mulai bergerak sedikit, Arga menekan gas dengan keras, tapi langsung terhenti lagi beberapa meter kemudian.
Di saat itulah, Arga melihat seorang pengendara motor di depannya yang tampak santai, padahal kemacetan sudah menggila. Pengendara itu asyik bersandar di motornya, seolah-olah tak peduli dengan kemacetan atau orang-orang yang ingin segera sampai ke tujuan.
"Lo liat tuh orang! Kayak nggak ada kerjaan, santai banget!" Arga menggerutu kesal.
Yakin menoleh ke arah yang sama dan menghela napas. "Udahlah, Ga. Jangan diladenin. Orang kayak gitu emang ada aja, nggak usah dipikirin."
Tapi emosi Arga sudah terlalu tinggi. Mobilnya mendekati motor itu, dan dia membuka jendela sambil mengeluarkan kepalanya. "Woy, cepetan jalan, lah! Udah macet gini, lo malah jalan santai kayak di taman!"
Pengendara motor itu menoleh santai ke arah Arga, lalu menjawab dengan nada tak acuh, "Sabar, mas. Semua juga macet, nggak usah buru-buru."
Jawaban itu hanya menambah api kemarahan di dada Arga. "Sabar? Lo bilang sabar? Gue udah cukup sabar liat lo dari tadi!" Suara Arga meninggi, menarik perhatian beberapa orang di sekitar.
Pengendara motor itu masih tak terpengaruh, ia hanya mengangkat bahu dan berkata, "Macet, mas. Nggak bisa apa-apa juga."
Arga meledak."Gue nggak peduli lo macet atau nggak! Kalau lo nggak bisa jalan cepet, minggir aja!" teriaknya keras.
Pengendara motor itu akhirnya berhenti, menoleh lebih serius ke arah Arga. "Mas, lo kenapa sih? Semua orang di sini juga mau cepet sampe. Lo nggak usah marah-marah gitu."
"Sialan, lo nggak ngerti situasi gue!" Arga hampir keluar dari mobilnya, tapi Yakin segera menariknya.