Keesokan harinya, suasana di rumah sakit berubah muram. Mobil jenazah sudah siap membawa ibu Arga pulang ke kampung halaman untuk dimakamkan. Rasa hampa masih menggantung di hati Arga. Seolah seluruh energi yang ia miliki tersedot habis semalam. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa menggambarkan betapa berat beban yang ia rasakan saat itu.
Sepanjang jalan menuju rumah, terlihat banyak orang berdatangan, mulai dari keluarga, tetangga, hingga kolega bisnis ibu yang mengenalnya dengan baik. Mereka mengucapkan belasungkawa, memberi pelukan, bahkan beberapa mencoba menghibur Arga, tapi semuanya hanya terdengar seperti gema yang jauh. Wajah-wajah itu, suara-suara duka, tidak ada yang benar-benar bisa menyentuh hatinya yang telah membeku oleh kehilangan.
"Arga, sabar ya... Semua ini bagian dari takdir," salah satu kolega bisnis ibunya berkata pelan, menepuk bahu Arga. Arga hanya mengangguk kecil, meskipun di dalam hatinya, ia masih berperang dengan perasaan yang bercampur aduk penyesalan, kemarahan, dan rasa hampa yang tak tertahankan.
Langit mendung seakan ikut merasakan suasana hati Arga. Setiap detik terasa berat, dan meski banyak orang di sekitarnya, Arga merasa sendirian. Kepergian ibunya meninggalkan lubang besar dalam hidupnya sesuatu yang tidak akan pernah bisa diisi oleh siapapun.
Saat iring-iringan jenazah akhirnya tiba di rumah, banyak warga yang sudah berkumpul di depan rumah. Para tetangga yang dulu akrab dengan ibu Arga datang dengan wajah penuh duka. Mereka semua mengenal baik sosok Dewi Sulastri sebagai wanita tangguh yang bekerja keras, bahkan setelah perceraiannya dengan ayah Arga.
Di depan rumah, Arga melihat sosok yang tidak ia duga akan hadir: ayahnya. Pria itu berdiri di sana, mengenakan pakaian serba hitam, dengan wajah yang tampak lebih tua dari yang Arga ingat. Ada garis-garis penyesalan yang terpahat di wajahnya, dan saat tatapan mereka bertemu, ada momen canggung yang seolah membeku di antara mereka berdua.
Ayah Arga, yang selama ini jarang muncul dalam hidupnya setelah perceraian, perlahan berjalan mendekat. Arga diam saja, tidak tahu harus merespons seperti apa. Baginya, pertemuan ini hanya menambah beban di hatinya yang sudah berat. Ia tidak tahu bagaimana harus merespons, apalagi setelah semua yang terjadi.
Ayahnya berhenti tepat di depannya. Mata pria itu tampak berkaca-kaca. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Arga... maafkan ayah."
Arga menatap pria itu dalam-dalam, namun tidak berkata apa-apa. Ada rasa sakit dan kemarahan yang tertahan dalam hatinya. Ayahnya telah pergi begitu saja setelah perceraian, meninggalkan dia dan ibunya untuk bertahan sendirian. Dan sekarang, pria itu kembali, di saat semua sudah terlambat.
"Arga, meskipun... ayah sama ibu udah bercerai, kamu tetap anak ayah. Maafkan ayah yang selama ini... jarang ada buat kamu." Suara ayahnya terdengar serak, seperti seseorang yang terlalu lama memendam perasaan. Ada penyesalan yang begitu dalam di dalam tatapan pria itu.
Arga menunduk, menggenggam tangannya erat-erat. Semua perasaan bercampur aduk. Antara marah, sedih, dan kesepian yang ia rasakan. Kata-kata ayahnya seperti meresap ke dalam, tapi belum mampu menyentuh bagian hatinya yang paling terluka. Ia tahu ayahnya mencoba menebus kesalahannya, tapi Arga merasa semuanya sudah terlambat.
"Ayah... selama ini di mana?" tanya Arga pelan, tanpa menatap ayahnya. Suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan rasa kecewa yang selama ini ia simpan dalam hati.
Ayahnya terdiam sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Ayah tahu... ayah salah. Ayah salah karena ninggalin kamu sama ibu. Ayah menyesal, Arga. Tapi waktu itu, ayah merasa nggak bisa lagi bertahan. Ayah pikir itu yang terbaik... tapi sekarang ayah sadar, ayah terlalu egois."
Arga menelan ludah. Kecewa yang ia rasakan semakin menumpuk. "Ibu selalu bilang, lo pergi karena lo nggak kuat tanggung jawab. Karena lo lebih pilih hidup lo sendiri daripada keluarga lo." Ia mengangkat wajahnya, menatap langsung ke mata ayahnya, mata yang dulu selalu ia kagumi, tapi sekarang terasa begitu asing.
Ayahnya mengangguk pelan, tatapannya penuh rasa bersalah. "Itu benar... dan ayah menyesal. Tapi, sekarang... sekarang ibu kamu udah nggak ada. Dan ayah cuma mau bilang, meskipun ayah udah nggak ada buat kalian waktu itu, sekarang ayah ada di sini. Ayah masih ayah kamu, dan ayah tetap sayang sama kamu."
Arga merasakan rasa perih yang tajam di hatinya. Ia ingin berteriak, ingin mengeluarkan semua rasa marah dan sakit yang ia rasakan, tapi mulutnya terasa terkunci. Semua terasa tidak adil. Kenapa harus sekarang, ketika semuanya sudah terlambat?
Namun, di balik amarah dan kecewa itu, Arga merasakan sedikit ruang dalam hatinya yang ingin memaafkan. Sosok ayahnya mungkin sudah tidak seperti dulu, tapi ia tahu pria di depannya itu tetaplah orang yang membesarkannya, meski dalam banyak hal ia gagal sebagai ayah. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi Arga tahu pada akhirnya, ia harus belajar menerima kenyataan ini.
"Ayah... gue cuma butuh waktu," jawab Arga pelan, matanya penuh air mata yang berusaha ia tahan. Ayahnya hanya mengangguk dengan penuh pengertian, tak ingin memaksa.
Mereka berdua berdiri dalam keheningan, di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang datang untuk berbela sungkawa. Arga sadar bahwa hidupnya akan berubah selamanya sejak hari ini. Ibu yang selama ini menjadi sandarannya telah pergi, dan sekarang, ia harus belajar hidup tanpa sosok yang paling ia cintai.
***