Mimpi dibalik layar

Bangbooszth
Chapter #8

Masa depan, Kata itu terasa asing sekarang

"Kenapa gue selalu merasa waktu bergerak lebih cepat di saat-saat seperti ini? Ketika semuanya sudah terlambat, saat satu-satunya hal yang gue punya hanyalah penyesalan."


Arga menghela napas panjang, duduk di teras rumah ibunya yang sudah mulai sepi dari pelayat. Suara gemerisik angin menyapu dedaunan, membawa hawa malam yang dingin menusuk. Satu minggu sudah berlalu sejak ibunya meninggal, dan sejak saat itu, Arga terperangkap dalam ruang di mana waktu terasa tak beraturan di mana menit terasa seperti jam, namun setiap hari lewat begitu saja tanpa ampun. Di satu sisi, ia merasa seolah baru kemarin ia mendapat kabar bahwa ibunya kecelakaan. Namun di sisi lain, ia merasa sudah berabad-abad lamanya tenggelam dalam kesedihan.


"Hidup gue ini..." Arga terdiam, tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimat itu. Ia menundukkan kepala, mengingat wajah ibunya untuk terakhir kali—wajah yang penuh kelelahan tapi masih menyimpan kelembutan.


Setiap malam, setelah rumah mulai sepi dan suara tangisan orang-orang mereda, Arga duduk sendirian di teras, tenggelam dalam pikirannya. Kenangan-kenangan masa kecilnya kembali menghantui: bagaimana ibunya selalu ada di sana, memeluknya saat ia jatuh, memberinya nasihat saat ia ragu. Dan sekarang, semua itu telah menjadi kenangan yang menyakitkan.


Selama seminggu ini, ia tidak bekerja. Ia cuti untuk menunggu peringatan 7 harian ibunya. Sebenarnya, Arga tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan waktu ini. Kepalanya penuh, tapi kosong sekaligus. Penuh oleh pikiran-pikiran tentang masa depan, namun kosong karena ia tidak tahu harus mulai dari mana.


Arga merogoh sakunya, menarik sebatang rokok, dan menyalakannya. Asap putih perlahan melayang di udara malam yang dingin, membantunya sedikit melepaskan beban di dada.


"Gue harus bangkit. Gue harus punya rencana." Pikiran itu terulang-ulang di kepalanya setiap kali ia mencoba berpikir jernih. Namun kenyataannya, setiap kali ia duduk di depan laptop dan mencoba menulis atau merencanakan sesuatu, jemarinya hanya terhenti di atas keyboard, tidak tahu harus mengetik apa. Keinginan untuk menulis—impian yang selama ini ia yakini akan membawanya keluar dari rutinitas yang hampa—tiba-tiba terasa jauh. Seperti mimpi masa kecil yang hilang di antara kabut kenyataan.


"Gue nggak bisa terus begini." Arga menegaskan pada dirinya sendiri. Ia tahu, jika ia membiarkan dirinya larut dalam duka terlalu lama, maka seluruh hidupnya akan terperangkap dalam keputusasaan yang tak berujung.


Suara langkah kaki memecah keheningan. Yakin datang, membawa dua cangkir teh hangat. Ia duduk di sebelah Arga tanpa sepatah kata pun, menaruh teh di atas meja kecil di antara mereka. Mereka berdua duduk dalam diam untuk beberapa saat, hanya ditemani suara angin dan deru kendaraan dari kejauhan.


"Jadi apa rencana lo ke depan, Ga?" tanya Yakin, akhirnya memecah keheningan. Suaranya lembut, tapi penuh perhatian.


Arga menatap kosong ke depan, menghirup dalam-dalam asap rokoknya sebelum menjawab. "Gue belum tahu, Kin. Gue masih bingung. Gue tau gue nggak bisa terus-terusan begini, tapi... gue ngerasa semuanya udah berantakan. Kayak gue udah nggak punya tujuan lagi."


Yakin mengangguk pelan, memahami perasaan sahabatnya. "Gue ngerti, Ga. Kehilangan ibu lo pasti berat banget. Tapi gue liat lo lebih kuat dari yang lo pikirin. Lo cuma butuh waktu untuk nyusun ulang hidup lo."


Arga tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat. "Kadang gue ngerasa gagal, Kin. Gue ngerasa belum cukup buat ibu gue. Gue janji bakal bikin dia bangga, tapi nyatanya... gue nggak ada buat dia di saat-saat terakhirnya."


Yakin menepuk bahu Arga pelan. "Lo nggak boleh terus-terusan nyalahin diri lo, Ga. Ibu lo pasti ngerti. Yang paling penting sekarang adalah lo fokus ke masa depan lo. Apa yang ibu lo inginkan buat lo."


Arga terdiam, memikirkan kata-kata Yakin. Masa depan. Kata itu terasa asing sekarang, setelah semua yang terjadi. Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa Yakin benar. Ibu Arga selalu mendukungnya untuk meraih mimpinya—mimpi yang kini terasa lebih sulit dijangkau daripada sebelumnya.


Malam itu, setelah Yakin pulang, Arga mulai menyusun rencana hidupnya. Di depan meja kecil di kamar ibunya yang kini kosong, ia membuka laptop dan menuliskan beberapa hal yang ingin ia capai. Dia tahu, jika ingin melanjutkan hidupnya, ia harus menetapkan tujuan, sekecil apa pun itu.


Pertama, dia akan menyelesaikan novelnya. Itu adalah janji yang telah ia buat pada dirinya sendiri sejak lama, dan kini, meski rasa duka masih menghimpit, ia tahu bahwa menulis adalah satu-satunya hal yang bisa memberinya pelarian. Menulis adalah caranya untuk mengungkapkan semua rasa yang tak bisa ia ucapkan dengan kata-kata.


Kedua, dia harus lebih fokus pada kariernya. Arga sadar, jika ia terus terjebak dalam rutinitas tanpa arah di kantor, maka hidupnya akan selalu terasa hampa. Dia berencana untuk mencari cara agar bisa lebih mengembangkan diri, baik di tempat kerjanya saat ini atau mungkin mencari peluang baru yang bisa memberinya lebih banyak ruang untuk tumbuh.

Lihat selengkapnya