Arga menatap bayangannya di cermin kamar kosnya. Ia menatap wajahnya yang letih seakan waktu telah menua dirinya bertahun-tahun. Matanya masih terlihat lelah, dengan lingkaran hitam yang semakin kentara. Meski tubuhnya berdiri di depan cermin, pikirannya melayang ke tempat lain, ke masa-masa yang ia lalui dengan ibu dan semua kenangan yang kini terasa kosong.
"Hidup gue sekarang cuma berantakan," gumamnya, suara itu nyaris tak terdengar di kamarnya yang sunyi. "Tapi gue harus bangkit. Gue harus kembali menjalani hidup."
Meski kata-kata itu ia ucapkan, rasanya seperti ucapan kosong yang tak sepenuhnya ia yakini. Namun, ia tahu, hari ini ia harus kembali bekerja. Tidak ada pilihan lain. Keluarganya sudah tidak ada lagi selain ayahnya yang jauh di kampung, dan ia tahu, berlama-lama terpuruk juga tidak akan mengubah apa pun.
Dengan napas berat, Arga mengambil laptopnya, memasukkan ke dalam tas, dan meraih jaket. Setelah memastikan semuanya siap, ia keluar dari kamar kos yang terasa lebih dingin dari biasanya. Angin pagi Surabaya menyambutnya begitu ia melangkah ke luar, namun entah mengapa, udara itu tidak membuatnya merasa segar justru makin menghimpit dadanya.
Saat tiba di kantor, suasana terasa biasa saja. Beberapa rekan kerja menyapanya dengan anggukan simpati, beberapa hanya memberikan senyuman singkat. Arga duduk di meja kerjanya, berusaha tenggelam dalam tugas-tugas administrasi yang menumpuk di mejanya. Namun, meski ia berusaha fokus, pikirannya terus berkelana, kembali ke momen-momen terakhir bersama ibunya, dan kata-kata ayahnya yang masih terngiang-ngiang di kepalanya.
Waktu istirahat tiba, dan Arga berjalan pelan ke kantin. Di sana, ia memilih duduk di pojokan, dengan secangkir kopi di tangan. Ia membuka laptopnya, mencoba menulis—melanjutkan naskah novel yang sudah lama ia tinggalkan. Tapi setiap kali jari-jarinya menyentuh keyboard, tidak ada kata yang keluar. Hanya layar kosong yang terus menatap balik ke arahnya.
Beberapa menit kemudian, Bu Rina, salah satu rekan kerjanya, menghampirinya. Wanita itu adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu tentang situasi keluarganya.
"Arga, kamu udah balik kerja? Gimana keadaanmu sekarang?" tanya Bu Rina, nadanya penuh perhatian.
Arga hanya tersenyum tipis, mencoba terlihat lebih baik dari yang sebenarnya. "Iya, Bu. Saya udah mulai kerja lagi. Rasanya aneh sih... kayak masih nggak percaya semuanya terjadi."
Bu Rina duduk di sebelahnya, menatap Arga dengan penuh simpati. "Itu wajar, Ga. Kehilangan ibu bukan hal yang gampang, apalagi buat kamu yang dekat sama beliau."
Arga mengangguk pelan, sambil menatap kopinya. "Kadang saya merasa, Kayaknya semua terasa begitu berat sekarang."
Bu Rina tersenyum lembut, lalu menepuk bahu Arga. "Kamu pasti bisa, Arga. Kamu orang yang kuat, meskipun sekarang rasanya sulit, pasti ada jalan buat kamu. Jangan terlalu keras sama diri sendiri, pelan-pelan aja."
Arga menatap Bu Rina, dan entah mengapa, kata-kata itu sedikit membuatnya merasa lebih ringan, meskipun rasa sakitnya masih ada.
"Terima kasih, Bu. Kadang saya lupa kalau saya nggak sendirian. Tapi sekarang, saya cuma punya ayah, dan hubungan kami... ya, gitu deh. nggak tau bisa baik-baik aja atau nggak."
Bu Rina mengangguk memahami. "Hubungan sama orang tua memang nggak selalu mudah, apalagi kalau ada luka lama. Tapi mungkin ini saatnya untuk kamu dan ayahmu mulai pelan-pelan memperbaiki semuanya. Kalian masih punya kesempatan untuk itu, Ga."
Arga hanya tersenyum tipis. " Saya masih nggak yakin, Bu. Setelah semua yang terjadi, rasanya... aneh. Tapi mungkin saya akan coba."
Beberapa saat kemudian, setelah Bu Rina beranjak, Arga duduk sendirian lagi, mencoba menata pikirannya. Pekerjaan masih menumpuk, tapi fokusnya terus beralih ke hal-hal yang lebih pribadi. Ia teringat lagi pertemuan dengan ayahnya, betapa beratnya percakapan itu, tapi juga betapa pentingnya.
"Mungkin gue emang harus mulai dari situ," pikir Arga dalam hati. "Kalau waktu itu gue nggak bisa memperbaiki hubungan gue sama dia, mungkin gue nggak akan bisa bener-bener maju."
Setelah beberapa menit melamun, Arga kembali fokus ke pekerjaannya, meski lambat. Dia terus berusaha, menyelesaikan tugas satu per satu, mencoba mengalihkan pikirannya dengan rutinitas. Tapi, jauh di dalam, ia tahu, masalah terbesar yang perlu ia selesaikan belum benar-benar tersentuh.
***
Setelah seharian berkutat dengan pekerjaan yang terasa lebih berat dari biasanya, Arga akhirnya bersiap pulang. Ia menghela napas panjang, merapikan meja kerjanya dan mengayunkan tas di bahu. Pikirannya masih terasa penuh. Meski pekerjaannya selesai, beban emosional yang ia rasakan tidak mudah lepas. Ia hanya ingin cepat pulang ke kos, istirahat, dan menghabiskan malam tanpa harus berpikir banyak hal. Namun, saat ia keluar dari kantor, tiba-tiba ponselnya berdering.
Ia mengambil ponsel dari saku dan melihat layar. Nama Naya muncul di sana. Seseorang yang sebulan terakhir ini tak sempat ia hubungi. Sebulan yang penuh dengan rasa kehilangan, kesedihan, dan kebingungan.
Arga terdiam sejenak, agak terkejut. Ia merasa bersalah karena mengabaikan banyak orang dalam sebulan terakhir. Namun, akhirnya ia menggeser layar untuk menerima panggilan.
"Halo?" sapanya dengan suara agak ragu.