Mimpi dibalik layar

Bangbooszth
Chapter #10

Im 19 but still a kid

Malam sudah semakin larut ketika Arga tiba kembali di kosannya. Udara malam Surabaya terasa hangat, tetapi sejuknya angin yang masuk dari jendela kamar kosan Arga cukup membuat suasana menjadi lebih nyaman. Ia merasa sedikit lebih baik setelah bertemu Naya. Percakapan mereka, meski sederhana, mampu membuat pikirannya tidak terlalu terbebani. Mood-nya perlahan mulai membaik, dan ia merasa siap untuk melakukan hal yang sempat ia tunda cukup lama: menulis.


Arga membuka laptop yang sudah lama tak tersentuh di meja kecil dekat tempat tidurnya. Dengan beberapa ketukan pada keyboard, layar laptop menyala, dan program pengolah kata terbuka. Tangannya sempat terhenti sejenak, memikirkan apa yang akan ia tulis. Lalu, perlahan, ia mulai mengetik.


"Pertemuan itu tak pernah direncanakan. Seperti kebetulan yang entah kenapa terasa sudah ditakdirkan. Di antara tumpukan buku-buku, aku melihatnya. Matanya tajam, penuh antusias, tapi juga menyimpan rahasia yang tak terungkap..."


Kata-kata mengalir lebih lancar dari yang ia duga. Arga tersenyum sedikit. Ia sedang menulis tentang Naya, tanpa sadar. Entah kenapa pertemuan mereka tadi membuatnya merasa terinspirasi. Setelah berjam-jam mengetik tanpa henti, akhirnya satu bab pertama dari novel yang ia rencanakan berhasil selesai. Rasanya seperti pencapaian kecil di tengah-tengah kekacauan hidupnya.


Arga menutup laptopnya, merasa puas. Namun, saat ia hendak merebahkan diri di tempat tidur, tiba-tiba pikirannya kembali pada Yakin. "Dia di mana, ya? Kenapa nggak diangkat telepon gue tadi?" gumam Arga, sedikit khawatir.


Ia menatap ponselnya di meja, lalu mencoba menelpon Yakin lagi. Namun, sama seperti sebelumnya, teleponnya tak diangkat. Hanya ada nada sambung yang panjang sebelum akhirnya mati sendiri.


Ketenangan yang ia rasakan tadi saat menyelesaikan satu bab novelnya mulai digantikan oleh kekhawatiran yang tak bisa ia abaikan. Dia sudah mencoba menelepon Yakin beberapa kali, tetapi tetap tidak ada jawaban. "Kenapa, ya? Biasanya dia cepet banget jawab telepon gue," pikir Arga, pandangannya terpaku pada layar ponsel yang gelap.


Arga menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Mungkin dia lagi sibuk, ya. Atau mungkin dia nggak liat teleponnya. Tapi... Yakin nggak pernah kayak gini sebelumnya. Biasanya kalau gue telepon atau chat, dia selalu balas." Pertanyaan itu terus berputar dalam kepalanya, semakin memperkuat kekhawatiran yang ia coba singkirkan.


Sudah lebih dari sebulan sejak terakhir kali mereka benar-benar ngobrol panjang. Sejak ibunya meninggal, Arga memang menutup diri dari dunia luar, termasuk dari sahabat terdekatnya itu. Ia tahu, Yakin pasti khawatir, tapi dia terlalu tenggelam dalam duka dan rasa kehilangan untuk peduli. Sekarang, setelah semua itu berlalu, rasa bersalah mulai menyusup dalam dirinya. "Gue nggak bisa kayak gini terus," pikirnya. "Gue harus kembali bangkit, dan salah satu caranya ya gue harus minta maaf ke Yakin. Dia nggak pantas gue cuekin kayak gini."


" Eh..Dua hari lagi kan yakin ulang tahun.. gue hampir lupa," gumam Arga sambil menatap langit-langit kamarnya. "Gue bahkan nggak nyiapin apa-apa buat dia. Selama ini dia yang selalu ada buat gue, yang dengerin keluh kesah gue, yang nemenin gue waktu gue nggak tau harus gimana. Dan sekarang, gue malah ga ada disamping dia." Arga menggigit bibirnya, merasa semakin bersalah.


Selama ini, Yakin selalu menjadi pendengar yang setia. Dia tidak pernah menghakimi Arga, tidak pernah memaksa Arga untuk segera bangkit dari keterpurukan. Yakin hanya ada di sana, menjadi teman yang selalu bisa diandalkan. Tapi sekarang, saat Yakin mungkin sedang membutuhkan dirinya, Arga malah terlalu sibuk dengan urusannya sendiri.


"Gue nggak boleh gini terus," bisik Arga pada dirinya sendiri. "Dia sahabat gue. Gue harus ngasih sesuatu yang spesial buat ulang tahunnya kali ini. Setidaknya buat nebus rasa bersalah gue."


Tapi kemudian, pikiran lain muncul. "Tapi... apa yang bisa gue kasih? Apa yang bisa gue lakuin buat Yakin?" Arga merenung sejenak, mencoba mengingat hal-hal yang disukai sahabatnya itu. "Mungkin gue bisa ajak dia ke tempat favorit kita... atau beliin buku yang dia suka. Tapi... apa itu cukup?"


Arga merasa dilema. Yakin bukan tipe orang yang suka hal-hal mewah atau besar. Dia selalu sederhana, dan itu yang membuat Arga semakin bingung. "Gue pengen ngasih dia sesuatu yang berarti, yang bisa nunjukin kalau gue bener-bener peduli sama dia. Tapi apa?"


Arga teringat momen-momen kebersamaan mereka. Waktu mereka nongkrong di tempat favorit, duduk di pinggir danau sambil menikmati kopi dalam gelas plastik, berbicara tentang mimpi-mimpi mereka. Saat Yakin selalu mendukung cita-cita Arga untuk menjadi novelis, meski Arga sendiri sering merasa ragu dengan kemampuannya.


"Gue harus nyiapin sesuatu yang spesial. Dua hari lagi, gue nggak boleh gagal. Ini kesempatan gue buat minta maaf dan ngasih dia sesuatu yang berharga. Yakin selalu jadi temen yang baik, dan sekarang giliran gue buat nunjukin kalau gue juga peduli," Arga membulatkan tekadnya.


Namun, di balik semua itu, kekhawatiran kecil masih menyelimuti pikirannya. "Tapi kenapa dia nggak angkat telepon gue? Apa dia bener-bener sibuk, atau ada sesuatu yang terjadi? Gue nggak bisa santai sebelum gue bener-bener tahu dia baik-baik aja."


Arga melihat ponselnya lagi, berharap ada pesan atau panggilan balik dari Yakin. Namun, layar tetap kosong. Tidak ada notifikasi baru. "Mungkin besok gue bisa langsung ke rumahnya. Ya, itu mungkin ide yang lebih baik daripada nunggu dia balas telepon gue. Siapa tau kita bisa ngobrol sambil gue rencanain kejutan buat ulang tahunnya."


Dengan itu, Arga meyakinkan dirinya untuk tidur dan mengakhiri malam itu. Besok, dia akan menyiapkan segalanya untuk kejutan ulang tahun Yakin. "Dia nggak boleh tau kalau gue sedang nyiapin sesuatu," pikir Arga sambil menarik selimut. "Dua hari lagi, gue akan tebus semua yang gue sia-siakan selama sebulan ini."


***


Halo, Na? Lagi sibuk nggak?" tanya Arga begitu telepon tersambung.


Minggu pagi yang cerah, Arga bangun lebih awal dari biasanya. Hari ini ia berencana untuk menyiapkan kejutan ulang tahun Yakin, dan ia membutuhkan bantuan seseorang, Naya.


"Nggak kok. Ada apa, Ga?".suara Naya terdengar ceria di seberang sana.


"Gue butuh bantuan lo buat hari ini. Gue mau nyiapin kejutan buat ulang tahun Yakin. Lo mau bantuin nggak?" Arga menjelaskan dengan antusias.

Lihat selengkapnya