"Na, gue harus ke kampung. Udah tiga hari ini yakin nggak ada kabar sama sekali, bahkan gue telepon pun nggak diangkat." suara Arga terdengar gelisah di ujung telepon.
Naya yang sedang di perpustakaan terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan nada cemas, "Gue ikut, Ga. Ini udah terlalu lama. Yakin nggak mungkin nge-ghosting lo tanpa alasan. Tapi lo yakin nggak ada masalah apa-apa sebelumnya?"
"Setau gue nggak ada. Kita baik-baik aja. Gue cuma nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba menghilang gini. Gue khawatir ada sesuatu yang serius terjadi," balas Arga sambil mengusap wajahnya, merasa semakin cemas.
"Oke, kita berangkat besok pagi ya? Gue bakal izin dulu sama dosen buat bolos kelas. Nggak mungkin gue biarin lo sendirian nyari Yakin dalam kondisi kayak gini," kata Naya mantap.
Arga merasa sedikit lega mendengar kesediaan Naya menemaninya. "Makasih, Na. Gue nggak tahu harus gimana tanpa lo."
Naya tersenyum kecil meski Arga tidak bisa melihatnya. "Lo tenang aja, Ga. Kita pasti nemuin dia."
***
Pagi berikutnya, Arga dan Naya berangkat menuju kampung halaman Yakin. Perjalanan terasa panjang. Sepanjang jalan, Arga terus menerus memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi pada Yakin. Pikirannya tidak bisa tenang, apalagi mengingat seberapa dekat hubungan mereka selama ini.
Naya, yang duduk di sebelahnya, mencoba menghibur, "Lo masih inget nggak, Lo pernah cerita kalo dulu waktu Yakin pernah kabur dari sekolah cuma karena dia takut sama ulangan Matematika? Siapa tau ini juga cuma masalah kecil yang bikin dia nggak mau ketemu."
Arga tertawa kecil, meski hatinya tetap terasa berat. "Iya, gue inget. Tapi kali ini beda, Na. Yakin nggak pernah kayak gini sebelumnya."
Naya menepuk bahu Arga pelan, "Gue ngerti, Ga. Tapi kita nggak bisa berpikiran negatif dulu. Nanti kita lihat apa yang sebenernya terjadi, ya?"
Setelah beberapa jam di jalan, mereka akhirnya tiba di kampung Yakin. Arga menatap sekeliling dengan perasaan cemas. Kampung itu terlihat tenang, dengan beberapa orang berjalan kaki melewati mereka. Mereka menuju rumah Yakin, sebuah rumah yang sederhana. Pintu depan tertutup rapat, dan tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam.
"Ini rumahnya, kan?" tanya Naya, memastikan.
Arga mengangguk. "Iya. Semoga dia ada di rumah."
Mereka mengetuk pintu beberapa kali, namun tidak ada jawaban. Arga mencoba lagi, kali ini lebih keras. Pintu akhirnya terbuka perlahan, dan seorang wanita paruh baya muncul di ambang pintu.
"Permisi Bu, saya Arga, teman Yakin. Apa Yakin ada di rumah?" Arga bertanya dengan nada penuh harap saat seorang wanita paruh baya yang membuka pintu.
Wanita itu memandang Arga dengan kebingungan. "teman Yakin? Maaf, Nak, Yakin dan keluarganya sudah nggak tinggal di sini."
Arga terkejut, matanya membesar. "Loh, maksudnya, Bu? Yakin nggak di sini? Bukannya ini rumah mereka?"
Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak, Nak. Yakin dan keluarganya cuma ngontrak di sini, tapi kontrakannya sudah habis dua minggu lalu. Mereka pindah, tapi saya nggak tau ke mana."
Naya yang berdiri di samping Arga ikut terkejut. "Mereka pindah? Kok Yakin nggak bilang apa-apa, Ga?"
Arga merasakan tubuhnya melemas. Dia merasa sudah kehilangan jejak sahabatnya. "Tapi, Bu, saya udah coba telepon dia berkali-kali. Dia nggak angkat. Ibu tau nggak mereka pindah ke mana?"
Wanita itu tampak sedih. "Maaf, Nak. Saya nggak punya nomor telepon mereka dan nggak tau mereka pindah ke mana. Mereka cuma bilang mau cari kontrakan baru, tapi nggak bilang di mana."
Arga menghela napas panjang, merasa seperti dihempas ke dinding tanpa jalan keluar. "Jadi... saya nggak punya cara buat nyari dia sekarang?"
Naya mengusap bahu Arga, mencoba menenangkan sahabatnya yang jelas-jelas bingung. "Ga, lo tenang dulu. Kita pasti bisa nemuin dia, kita cari info lebih lanjut di tempat lain."
Wanita itu tampak bersimpati. "Saya berharap kamu bisa nemuin dia, Nak. Yakin anak baik. Kalau ada apa-apa, saya doakan semoga kamu cepat ketemu."
"Terima kasih, Bu," jawab Arga dengan suara lemah, sebelum mereka berdua pamit dan meninggalkan rumah tersebut.