Arga baru saja melangkah lebih dalam dan tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Yakin muncul di layar, membuat jantungnya berdebar kencang. Arga langsung menjawab panggilan itu.
"Lo ngapain masuk ke sana, bodoh!" suara Yakin terdengar jelas dari ujung telepon, nada suaranya terdengar sedikit menahan tawa.
Arga berhenti di tempat. "Lah? Lo di mana?" tanya Arga dengan nada bingung. Dia memutar tubuhnya, menatap ke sekeliling ruangan yang gelap dan penuh debu.
"Gue bilang lo ngapain masuk ke situ kocak, itu rumah kosong. Kosan baru gue ada di sebelahnya , bukan di dalam sana!" Yakin menjelaskan dengan tertawa .
Arga menepuk dahinya. "Astaga... sharlok lo meleset, cok. Gue udah capek-capek masuk ke sini. Kirain lo lagi sembunyi di sini atau gimana," katanya sambil tertawa kecil, lega karena akhirnya menemukan jawaban.
"Ya ampun, Arga... gue bukan nyuruh lo main petak umpet di rumah hantu," sahut Yakin,"Keluar deh, kosan gue di sebelah sini. Lihat, rumah dengan lampu kuning itu, sekitar dua rumah dari sana."
Arga langsung berbalik arah, keluar dari rumah tua yang dia masuki. Udara malam terasa lebih segar begitu dia melangkah keluar, dan sekarang dia bisa melihat rumah dengan lampu kuning yang dimaksudkan Yakin, terlihat jelas hanya berjarak beberapa langkah dari tempatnya berdiri. Dia tertawa kecil lagi, menyadari betapa konyolnya situasi ini.
"Yaudah, gue ke situ sekarang," kata Arga, masih tersenyum geli.
Saat dia berjalan menuju kosan Yakin yang baru, perasaan lega sedikit demi sedikit menggantikan kekhawatirannya. Arga mulai berpikir, mungkin selama ini dia terlalu berlebihan memikirkan Yakin, tapi tetap saja tidak ada kabar selama berminggu-minggu membuatnya gelisah.
Setelah menutup telepon, Arga mempercepat langkahnya menuju rumah yang diterangi lampu kuning, kosan baru Yakin. Perasaan lega mulai mengalir dalam dirinya, tapi masih ada sedikit kekhawatiran yang tertinggal. Ia tak bisa sepenuhnya mengabaikan fakta bahwa Yakin benar-benar menghilang selama 3 hari tanpa kabar, dan itu membuatnya penasaran.
"Lo ngapain masuk kesono kocak,?" goda Yakin, masih tertawa kecil.
Arga tersenyum sambil menggeleng. "Anjir Lo, Lo tau nggak? Gue hampir siap kalo tiba-tiba ada pocong nyambut gue di situ. GPS lo ngaco, bro."
Yakin terkekeh. "Gue cuma nyari kosan baru, bukan tempat uji nyali."
Mereka berdua tertawa sejenak, tapi Arga bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda pada Yakin kali ini. Bukan sekadar canda tawa seperti biasanya. Meskipun Yakin mencoba terlihat ceria, Arga bisa melihat di matanya ada kelelahan yang belum sepenuhnya hilang.
Setelah beberapa saat, mereka masuk ke dalam kosan. Ruangan kos Yakin cukup sederhana, tapi nyaman. Beberapa buku berserakan di meja kecil, dan sepasang bantal dibiarkan tergeletak di atas kasur. Yakin mengambil tempat di kursi di sudut ruangan, sementara Arga duduk di tepi kasur.
"Jadi, kenapa lo ngilang lama banget?" tanya Arga sambil menyandarkan punggungnya ke dinding. "Gue kira lo pindah jauh atau gimana. Gue sama Naya bahkan sampe nyusulin Lo ke kampung, tapi malah ga ada."
Yakin tersenyum tipis, tapi kali ini tanpa tawa. "Maaf, Ga. Gue nggak bermaksud bikin lo khawatir. Banyak yang harus gue urus." Yakin menghela napas dalam-dalam. Gue juga pindah kosan karena gue ngerasa kosan yang lama terlalu mahal dan gue udah nggak mampu buat bayar."
Arga terdiam sejenak, mendengarkan dengan saksama. "Lo nggak bilang apa-apa ke gue. Gue bisa bantu lo, setidaknya buat bantuin beresin beberapa hal."
Yakin mengangguk pelan. "Gue tau. Tapi gue pikir, gue bisa handle sendiri. Gue nggak mau ngerepotin lo, Ga. Lo udah banyak urusan juga kan. Pekerjaan, masalah lo sendiri..."
Arga menghela napas. "Lo tau gue nggak pernah anggap itu ngerepotin. Gue ini sahabat lo, apapun yang terja
di, lo nggak perlu tanggung sendiri."
Setelah beberapa saat tawa mereka mereda, Yakin terlihat lebih serius. Dia menarik napas dalam-dalam, seolah-olah berusaha mengumpulkan kekuatan untuk berbicara.
"Ga, gue sebenernya harus cerita sesuatu yang mungkin lo nggak pernah tau," kata Yakin, suaranya sedikit berat.
Arga menatap Yakin, bingung dan khawatir sekaligus. "Apa maksud lo, Kin?"