Arga merasa sedikit aneh dengan ide ini, tapi dia sudah setuju dengan rencana Yakin. Misi kali ini: memata-matai Naya untuk mencari tahu hal-hal kecil yang dia suka, tanpa terlihat seperti stalker. Sesederhana itu, tapi di tangan Arga, semua bisa jadi tidak sesederhana yang dibayangkan.
Hari pertama misi dimulai. Arga berdiri di sudut taman kampus, mengintip Naya yang sedang duduk di bangku sambil membaca buku. Dia mencoba menyembunyikan diri di balik pohon, tapi tubuhnya yang tinggi membuat setengah dari badannya masih terlihat jelas.
Tiba-tiba, angin kencang berhembus, dan daun-daun kering beterbangan. Beberapa di antaranya nyangkut di rambut Arga. Dia berusaha menyingkirkannya sambil tetap mengawasi Naya, tapi gerakannya justru terlalu heboh dan malah membuat dirinya terlihat.
Naya, yang mulai merasakan kehadiran seseorang, menoleh. Arga langsung membeku seperti patung, berharap teknik “kalau diam nggak bakal kelihatan” yang sering dia lihat di film berfungsi.
Naya menyipitkan mata, memeriksa keanehan yang ada di balik pohon itu. “Arga? Itu lo?”
Arga, yang sudah terlanjur ketahuan, akhirnya keluar dari tempat persembunyian dengan senyum kikuk. "Oh... hey, Nay. Gue lagi... lagi jalan-jalan aja, nyari udara segar.”
Naya menatapnya bingung. “Nyari udara segar di balik pohon?”
“Ehm... iya, pohonnya... Besar, gitu. Banyak oksigen di sini,” jawab Arga sembarangan. Ia langsung ingin menepuk wajahnya sendiri karena merasa bodoh.
Naya tertawa kecil. "Oke deh, kalo gitu.." Dia kembali tenggelam dalam bukunya.
Arga merasa misi hari ini sudah gagal total. Dia berjalan menjauh dengan lesu sambil mengutuk kebodohannya.
Namun Arga belum menyerah, ia memutuskan untuk memakai topi dan kacamata hitam. Dia merasa dengan penyamaran ini, dia bakal lebih sulit dikenali. Seperti detektif di film-film, Arga mengikuti Naya yang sedang berjalan menuju kantin.
Masalahnya, dia lupa kalau topi dan kacamata hitam di siang bolong bikin dia terlihat jauh lebih mencurigakan. Setiap kali Naya berhenti untuk melihat sesuatu, Arga langsung berhenti juga, tapi dengan gerakan terlalu dramatis, seperti agen rahasia amatir. Beberapa mahasiswa lain yang lewat mulai menatapnya aneh, tapi Arga tetap fokus.
Di kantin, Naya memesan sesuatu di kasir, dan Arga berusaha mendekat untuk mendengar pesanannya. Dia terlalu bersemangat dan secara tak sengaja menyenggol nampan plastik yang sedang ditumpuk di samping kasir. Nampan-nampan itu berjatuhan dengan suara yang sangat keras.
Semua orang di kantin langsung menoleh ke arahnya. Arga berdiri di sana dengan tatapan canggung, sambil mencoba memasang senyum ala "ini bukan apa-apa, semuanya baik-baik saja." Naya menoleh, menatap Arga sekali lagi, dengan ekspresi campuran antara bingung dan geli.
“Lo... ngikutin gue, ya?” tanya Naya sambil menahan tawa.
“Ngikutin? Gak lah! Gue cuma... kebetulan lagi lapar, dan gue mau makan juga,” jawab Arga cepat, meskipun jelas bahwa kebetulan ini terlalu aneh untuk dipercaya.
“Oke, kalo gitu. Gue pesen nasi goreng sama es teh manis. Lo mau apa?”
Arga, yang terlalu sibuk berusaha menyelamatkan wajahnya, dengan otomatis menjawab, “Eh, sama, nasi goreng dan... susu coklat dingin.”
Naya tertawa. “Susu coklat? Kayak anak kecil, Ga.”
Rasanya Arga ingin menenggelamkan dirinya ke dalam nampan plastik itu. Misi mata-mata hari ini berakhir dengan kegagalan total.
Hari kedua, Arga memutuskan untuk mencoba cara yang lebih halus. Dia duduk di perpustakaan, di meja yang agak jauh dari Naya, sambil berpura-pura membaca buku. Naya duduk di dekat rak buku, dengan tenang membaca novel kesukaannya.
Arga mengintip dari balik bukunya, mencoba mengamati lebih hati-hati kali ini. Tapi, dia terlalu asyik mengamati Naya sampai tidak sadar kalau dia memegang buku terbalik.