November 2011
AKU memang sudah tidak dekat dengan Kadek lagi—takut ada gempa lagi—tapi sekarang malah aku dekat dengan adiknya; yaitu si Komang. Gadis Bali ini kerap datang mengisi waktu luangku di Bali—bersama si Polos Kentut, eh Ketut si bungsu. Aku jadi tak enak hati pada si Darse, tapi mau gimana lagi, Komangnya yang mau.
Walaupun Komang itu masih lugu—cenderung judes, dan biang kerok pertengkaran kalau bertemu—tapi dia sosok yang rela berkorban dan tulus. Dia mau disuruh-suruh apa aja, bahkan ngerokin pun mau. Jadi, aku sering memberinya hadiah-hadiah kecil; yang paling besar mungkin kaos.
Komang tidak seperti adik bagiku, tapi lebih ke teman, meskipun polahnya memang masih kekanak-kanakkan, karena gadis Bali ini masih SMP kelas tiga. Tapi perawakannya mampu membuatku tak bisa menganggapnya sebagai adik. Badan yang tinggi—bahkan lebih tinggi dari Kadek—dengan dobel lesung pipi, dan tahi lalat di bawah mata. Wajar kalau Darse tergila-gila.
Ketika bertemu, kami selalu cekcok, bahkan sampai jitak-jitakan, karena bocah ini suka menjitak duluan. Gara-gara polahku ini, aku kadang sering disindir sebagai ABG tua. Komang memang sangat labil dan emosional, ia sering nekat kalau mau bertemu denganku. Bahkan kadang berani masuk ke area proyek untuk sekedar melihat wajahku yang tak seberapa tampan ini. Darse mungkin benar, bahwa Komang tertarik kepadaku. Tapi sejak kapan? Apakah aku pernah berpapasan dengannya sebelum aku dan Darse melihatnya, waktu itu. Aneh sekali.
Kedekatanku dengan Komang ternyata membuatku melupakan yang jauh di sana. Lambat laun, Liya menjadi yang nomor dua lagi. Yang menjadi nomer satu sekarang adalah kesenangan sesaat dan hawa nafsuku.
***
Sekarang sudah tanggal 4 di bulan ke sebelas. Siang ini, aku berada di kantor, duduk di ruang utama kantor sambil mengepulkan asap rokok. Setelah jam waktu istirahatku dihabiskan di sini, tak tahu kenapa, aku tak ingin pulang ke mes, atau pun makan siang. Aku hanya ingin menyendiri, memikirkan kekosongan.
Lalu, aku bermaksud berjalan-jalan mengelilingi lingkungan proyek villa yang berjumlah 23 bilik ini. Sebelum aku meninggalkan kantor, aku ambil kunci villa 3 dan 4; dua bilik yang sudah jadi. Aku berjalan menghadap ke arah portal, jelas sekali ada dua anak perempuan sedang berdiri di kejauhan, di jalan yang menuju ke arah portal proyek, dari sisi sebaliknya. Aku sangat tahu mereka, kakak beradik yang kerap menggangguku.
Komang—yang berpakaian putih seperti pengiring pengantin di pernikahan internasional, dengan rok pendek—bersama si Ketut, sedang mengintai aku dari kejauhan. Mereka melambaikan tangan, sontak aku membalas mereka, dan aku mengisyaratkan agar mereka tidak mendekat. Tapi mereka malah maju ke arahku.
Beberapa saat, tiba-tiba mereka malah berlari ke belakang dengan menjerit. Aku mengerutkan dahi, dan merasakan sedikit mual.
“Ada apa ini?” gumamku.
Kepalaku juga tiba-tiba terasa pusing. Daun-daun berbunyi dan terlihat bergerak-gerak, ada suara pintu yang tertutup keras, dan suara yang berisik dari arah gudang.
Aku masih saja berjalan, tapi langkahku gontai. Apakah ini akibatnya bila tidak makan siang, atau aku akan pingsan? Atau roh-roh jahat yang sedang keluar di siang bolong sedang mencoba membuatku takut.
Kemudian, aku duduk di sebuah frame jalan. Aku semakin merasakannya. Aku baru menyadari bahwa tadi terjadi gempa bumi, tapi getarannya tidak jelas, tidak seperti bulan lalu.
Ya Tuhan, baru pertama kali hidup di Bali, sudah mengalami momen gempa dua kali. Padahal gempa bumi katanya kejadian yang sangat langka di Bali.
Aku jadi ingat kata Darse. “Lihatlah! Alam pun ikut tidak jelas seperti hatimu. Sebelum alam ini memporak-porandakanmu, lebih baik kamu jelaskan lagi hatimu!” kata-kata itu malah mengingatkanku pada Komang. Aku memang salah memberi harapan—atau lebih tepatnya mempermainkan gadis SMP itu—karena aku tak mungkin membalas perasaannya, dan aku sendiri merasa tak pantas. Aku tak tahu perasaan Komang yang sebenarnya seperti apa kepadaku, aku benar-benar tak mengerti. Aku mungkin senang, karena ia rela melakukan apa saja untukku. Menjadikanku teringat ketika aku menyuruh-nyuruh Nur dan Nurfa, di masa-masa PKL, dulu. Namun, sekarang kepolosannya membuatku merasakan seperti ketika aku bertemu Liya di alun-alun Purbalingga, dulu.
Aku teringat Darse, ketika aku cerita tentang sikap Komang kepadaku. Dengan jiwa besar, ia berkata, “Benar, Bi. Dia sayang sama kamu! Aku yakin itu!” Bahkan mungkin sikap Komang kepada Kadek, itu karena cemburu.
Dengan keluguan itu, rasa yang tulus bisa menjelma menjadi hal-hal yang luar biasa baik, sekaligus buruk yang amat sangat. Aku tak tahu ini nama tepatnya apa. Aku menjadi sangat takut. Ibarat bom, Komang seperti bom yang berdaya ledak tinggi, dengan sumbu pendek.
Akhirnya aku putuskan untuk menjauhi Komang secara perlahan.