Mimpi - Gadis Berkerudung Merah Muda

Imron Mochammad Alghufara
Chapter #39

PAILIT

SETELAH obrolanku dengan Liya pada tanggal 14 lalu, yang penuh dengan warna merah muda, komunikasi kami kemudian seperti dihempas oleh keadaan. Belakangan ini aku benar-benar sulit mengatur ekonomi pribadiku. Opsi untuk makan, rokok atau pulsa? Ternyata aku baru sadar dan merasakan dampak keadaan proyek yang sedang pailit, aliran dana macet seperti musim kemarau, yang sebenarnya sudah terjadi semenjak kepulanganku awal Januari lalu. 

Gaji kami itu disamakan dengan kredit, bedanya kalau kredit itu berbunga, tapi ini kredit tanpa bunga. Jadi, kami harus hidup dengan gaji cicilan setiap minggu, itupun tidak rutin. Pernah juga, hingga satu bulan tidak ada gaji, hanya suntikan dana konsumtif dari kantor. Begitulah nasib jadi pegawai proyek swasta. Semakin hari semakin parah, dan mungkin puncaknya adalah akhir bulan ini. 

Banyak yang tak kuat, sampai memutuskan untuk pulang dan tidak berangkat lagi. Rata-rata yang sudah berkeluarga, seperti Mas Eross dan istrinya, yang pada bulan september tahun lalu berangkat sebagai penganten baru, tapi sekarang harus tumbang (pulang kampung). Aku jadi membayangkan, jika nantinya membawa Liya ketempat ini—setelah aku menikahinya (berkhayal terlalu jauh)—apakah bisa bertahan? Sedang sekarang pun hubungan kami seperti berat di ongkos. Aku benar-benar harus menghemat pengeluaran, sebelum aku mati karena kelaparan—sedikit berlebihan. 

Liya tidak mau mengerti tentang masalahku ini. Ia beranggapan bahwa rokok adalah biang kerok dari semua yang menimpa komunikasi kami. 

“Kenapa sih harus ngrokok? Kan lebih baik uangnya digunain untuk beli pulsa, biar bisa telfonan sama aku!!”ujar Liya di telfon.

Aku sangat mengerti semua yang dikatakan Liya, artinya adalah mengalihkan anggaran untuk beli rokok menjadi anggaran untuk beli pulsa. Tapi, ia tidak tahu kalau hasrat laki-laki tidak segampang itu di bolak-balik. Apalagi menyuruh perokok untuk berhenti merokok. 

Ok deh, bisa diusahakan!” balasku malas, pesimis karena merasa tidak mungkin bisa.

Karena masalah rokok inilah, membuat komunikasi kami bertambah tak karuan. Setiap kali telfon (yang jarang-jarang itu), kami selalu berdebat tentang rokok! Perdebatan itu membawa kami kembali berada di situasi yang dilematis. Seperti yang sudah-sudah, aku akhirnya mengalami ketidakjelasan perasaan. Liya menjadi ‘tidak sebagai yang nomor satu’ lagi. Sekarang nomor satunya adalah ego dan hasrat kelaki-lakianku.

***

Daripada memikirkan kebawelan Liya, lebih baik aku me-ngikuti ajakan untuk mancing. Kemarin, aku diajak mancing oleh Goro dan orang-orang dari mes angineer. Katanya yang mendanai adalah Om Janni. Sekarang, dari mes kantor aku berangkat bersama, Om Janni, Goro dan Herudin. Sedang dari mes engineer, ada Pak Padri, Utut, Mas Bawor, ada juga si Arya dan lain-lain.

Kebanyakan orang memang memilih pulang, ketimbang bertahan tanpa gaji rutin, dan banyak nganggurnya—karena tak ada stok barang di gudang. Hanya kami yang bertahan. Om Janni kali ini berbaik hati, sehingga mau menyisihkan uang tabungannya untuk menghibur bawahannya dengan acara mancing ala kadarnya ini. Beberapa uang berwarna biru diberikan kepada Herudin untuk konsumsi dan bensin. 

Kemudian kami berangkat, lalu berhenti di sebuah sebuah Tukad (Sungai) yang lebar. Di situ sudah ada banyak pemancing, bahkan ada yang menggunakan rakit dari kayu bekas kapal yang mengambang di tengah-tengah sungai. Aku tak tahu tempatnya ini disebut apa, tapi sungai ini adalah Tukad Badung (Sungai Badung) yang sudah masuk wilayah Denpasar. 

Pak Padri yang merupakan pemancing ulung (katanya si)—karena ia mengaku dulu pernah bekerja di toko alat-alat pancing—langsung bersiap-siap dengan pancing yang kualitasnya bagus. Dengan gagang yang halus dan kuat. Sedang Utut (adik Gendon dan Mas Bawor) menggunakan bilah bambu yang kecil dengan senar yang jelek. Sementara yang lainnya mengikuti jejak mereka. Hanya beberapa yang tidak membawa kail, termasuk aku. Aku hanya sesekali meminjam milik Pak Padri, tapi kurang bisa, akhirnya aku pinjam milik Utut sebentar.

“Ah, pakai pancing kayak gitu, dapatnya paling ikan kelas teri.” Dengan sombongnya Pak Padri melemparkan gagang kailnya yang benar-benar mengkilat, hingga mata pancingnya terlempar jauh ke tengah-tengah sungai.

Utut hanya nyengir kuda, sambil memperlihatkan lobang hidungnya, “Ah, diam kau Pak Kumis! Lihat saja nanti!” 

Lihat selengkapnya