BEBERAPA HARI setelah pertunangan itu aku berencana berangkat lagi ke Bali.
Liya aku tinggalkan di tempat tidur, karena semalam aku menginap di rumahnya. Kebetulan, kami semalam pulang larut, setelah menghabiskan kepentingan kami sehari penuh, kemarin. Berhubung orang tua Liya menganjurkan, dan Liya pun terlihat menghendaki, jadi semalam aku tidak bisa menolak untuk bermalam. Kemudian, keesokan harinya—yaitu sekarang ini—aku dikejutkan dengan sebutir telur ayam kampung yang disediakan oleh neneknya Liya, di atas sebuah baki kecil, dengan madu sasetan di sekelilingnya.
“Makasih, Nek!” kataku, kemudian dengan setengah ragu aku menenggak telur mentah yang sudah dibuka atasnya. Dalam hati bertanya-tanya mengenai maksud nenek Liya memberikan ini semua.
Kemudian aku pamit pulang, sekaligus pamit untuk keberangkatan lagi ke Bali. Tapi entah kenapa kali ini begitu berat, seakan-akan aku tak ingin pergi jauh dari sekitar rumah ini. Harum dupa sesaji, dan nuansa kering khas Jimbaran, kali ini tidak mampu membuatku gila seperti sebelumnya. Sekarang sudah ada bidadari yang membuatku tak ingin lagi pergi jauh-jauh. Aku sepertinya menemukan sebab kebahagiaan, bukan lagi sebuah tempat atau kebebasan, melainkan pribadi.
“Sudah lah, Mas!” ucap Liya, seakan tahu bahwa aku sedang merasakan perasaan berat untuk meninggalkannya, sambil memperlihatkan cincin emas di jarinya. “Sekarang kita sudah terikat, bukan?”
Aku tersenyum.
Sepertinya Liya lebih nyaman dengan keterikatan ini. Ia sangat mantap untuk melepaskanku pergi dengan keterikatan ini. Status yang membuatnya merasa sudah berada pada garis finis, bak berada di sebuah kotak kayu yang mengurungnya, dan sudah ditutup. Aku mengerti, tapi ikatan, bagaimanapun juga adalah tali yang diikat. Dan ikatan pertunangan adalah ikatan tali yang kencang, andai tali itu memang kuat, tapi kalau itu tali yang rapuh, ikatan sekencang apapun akan sia-sia. Tali itu akan hancur berderai. Namun, kali ini Liya benar, aku harus pergi, pergi untuk kembali. Lagi pula aku masih butuh pekerjaan di Bali, setidaknya sampai hari pernikahan kami—setidaknya—untuk pandangan baik keluarga Liya.
“Iya, Dhe. Aku ngerti kok. Aku pamit, ya. Aku berangkat sore nanti sekitar jam dua.”
“Iya, Mas, hati-hati, ya!”
Aku kecup kening Liya, lalu mengecup cincin pertunangan yang ada di jari Liya. Dan Liya pun mengecup cincin di jariku, dengan hormat, seperti seorang istri kepada suaminya.
Kemudian aku keluar dari pintu dan langsung menaiki motorku, lalu menghilang seketika dari hadapan Liya.
***
Jam 2:30 WIB, meskipun setengah hati, aku berangkat dari Terminal Purwokerto dengan bus yang berpenumpang jarang. Sekitar tiga jam kemudian, nampak tanda-tanda bahwa bus telah sampai di Jogja. Di terminal agen bus, seperti biasa bangku-bangku yang tadinya kosong, perlahan-lahan mulai terisi. Tak terelakkan lagi, sekarang aku pun sudah dikerumuni orang-orang asing. Orang asing yang ada di sebelahku adalah laki-laki berusia sekitar 40 ke atas, bertampang semi oriental dengan rambut lurus tebal. Dia melebarkan senyuman setelah menyamankan posisi duduknya.
Setelah beberapa lama berjalan, pramugara bus mulai menarik karcis, dan membagikan snack. Lalu bapak di sebelah mulai menyapa,
“Dari mana, Mas?” tukasnya, santai sambil menikmati snack.
“Purwokerto, Pak.” Jawabku.
“Oh, mau ke Bali?” lanjutnya.
Aku mengangguk, sambil memakan snack.
“Sama dong.” Katanya lagi, “Liburan?”
Aku menggeleng, “Kerja?”
“Oh, saya juga tinggal di Bali.”
“Bapak kerja di mana?” tanyaku mulai akrab.
“Nggak, saya buka toko.”
“Oh... jadi bapak ini pengusaha.”