Pertengahan Mei 2012.
TANGGAL pernikahan telah dipastikan, dan sudah tertera di desain undangan pernikahan. Sebuah desain undangan pernikahan yang elegan dan proporsional dengan warna biru keunguan, karya Renjer, sahabatku itu.
Tapi, semenjak dipastikannya tanggal pernikahan kami, Liya malah sangat sulit dihubungi. Tak tahu penyebabnya apa, yang pasti dia berubah drastis. Tidak bersemangat lagi kalau membicarakan pernikahan. Untuk sementara aku tidak terpengaruh dengan perubahan ini. Aku anggap itu hanya perasaanku saja. Namun, lama-lama, semakin aneh. Aku sempat mendapati di facebook-nya, interaksinya dengan seseorang yang sepertinya sudah sangat akrab—entah itu baru dimulai atau sudah kenal lama. Dia seorang laki-laki bernama Anan, seorang yang sedang bekerja di Jepang, dan lumayan tampan. Wajar bila Liya sangat antusias ketika ngobrol dengannya di inbox fb atau di kolom komentar. Mungkin dia bangga bisa mengenal cowo setampan dan sesukses Anan.
Awalnya aku tak menganggap TKI Jepang itu sebuah ancaman, bahkan aku merasa sedikit respek, karena latar belakang pekerjaannya. Aku hanya menjadikannya teman di facebook, dan sesekali mengamatinya ketika berinteraksi dengan calon istriku.
Sedikit cerita, semenjak kabar pertunangan kami tersebar di dunia maya, memang banyak masa lalu Liya yang berdatangan. Mulai dari mantan waktu SMP sampai SMK kelas dua, yang tampil ke permukaan. Tapi mantan-mantan Liya yang seperti itu, tidak kuanggap sebagai momok yang menakutkan. Bahkan aku bersikap ramah kepada mereka. Meskipun mereka cenderung emosional, sampai ada yang berkolaborasi dengan mantan Liya yang lain untuk mengancam. Aku hanya berkata dalam hati, “Dasar bocah!”
Sampai datanglah Anan, dengan segala latar belakangnya—yang jauh lebih baik dari mantan-mantan Liya yang lain—itu. Entah mengapa, aku seperti melihat seorang penunggang kuda putih yang siap membawa pergi Liya dalam kebahagiaan, dan sialnya! aku malah seperti bayangan hitam yang menghalanginya.
Liya seperti mendapatkan idola baru di dunianya, dan setiap saat dia berinteraksi dengan Anan seperti kecanduan narkoba. Aku tak bisa melarangnya, karena aku akan merasa bersalah jika melakukannya. Aku sempat bertanya kepada Liya tentang Anan, dan Liya hanya menjawab bahwa Anan bukan mantannya, dia hanya pernah ngekos di dekat rumahnya. Ia juga berkata bahwa tidak ada yang spesial dari interaksinya dengan Anan sekarang, kecuali sebagai teman lama yang sedang bertemu kembali.
Karena pengakuan-pengakuan Liya itu, aku menjadi lega, meskipun aku masih jadi pengintai.
Namun, hal itu berubah ketika Anan memposting foto kuil Shinto di sebuah obyek wisata di Jepang, Liya malah dengan bangganya menulis di kolom komentarnya, “Betapa bahagianya, andaikan kita bisa menikah di tempat itu, Sayang!” 'Apa artinya??'
Aku seperti disambar petir, dan hatiku luluh lantak seketika. ‘Apa yang terjadi sebenarnya dengan Liya?’ Pikirku. Saat aku membaca komentar itu, hari sudah gelap, segelap hatiku. Aku gemetar, sambil melihat cincin emas pertunanganku yang tiba-tiba berubah menjadi kelabu. Aku tak tahu harus berbuat apa. Sedangkan Liya sangat sulit sekali dihubungi, sms dan di inbox pun tidak ada balasan sama sekali. Bahkan facebook Liya—yang bisa aku buka sesuka hati—tiba-tiba tidak bisa dibuka. Jalanku pun semakin buntu untuk mendapat akses dengan Liya. “Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Jarak ini seperti jurang neraka!”.
Sesekali aku berhasil telfon Liya, dia malah terdengar dingin seperti es batu, tidak seperti ketika berinteraksi dengan Anan di facebook, yang antusias dan penuh kebahagiaan. Sakit sekali dipecundangi seperti ini.
Ini benar-benar ujian untuk pertunangan ini, tepatnya ujian untukku. Meskipun begitu, aku belum berani menghubungi Anan. Anan begitu putih dan cerah dalam bayanganku. Apakah ini jawaban dari semua doa-doa Liya yang sangat pribadi, yang aku tidak mungkin tahu?? Mungkin seorang pangeran yang sempurna; tampan dan mempunyai istana yang megah.
Apakah Liya bukan “Gadis Berkerudung Merah Muda”, yang aku mimpikan itu? Sementara Anan mungkin adalah pangeran tampan yang berkuda putih dalam harapan Liya. Entahlah?