Awal Agustus 2012
RAMADHAN, sudah terlewati setengahnya. Sementara bayangan Mbak Siti Maryam—yang sedikit menghinggapi pikiran beberapa waktu lalu—perlahan-lahan hilang dalam diam. Beliau memang tidak bisa disebut gadis lagi, bagaimana pun juga yang aku cari adalah seorang “Gadis Berkerudung Merah Muda”. Wanita Berkerudung Merah Muda itu mungkin hanyalah pengingat. Pengingat akan sebuah pengorbanan besar yang mungkin akan aku hadapi di masa-masa yang akan datang.
Sekarang, aku harus fokus kepada calon istriku, “Sang Gadis Berkerudung Merah Muda!”yang sudah menungguku di kampung. Karena sekitar seminggu lagi akan ada kepulangan besar-besaran di proyek ini, bertepatan dengan libur Lebaran. Ketika mendengar kabar mengenai detik-detik kepulanganku itu, Liya terdengar senang, walaupun tidak begitu terasa antusiasnya. Beberapa hari ini dia memang terdengar tidak bergairah, mungkin ada hubungannya dengan ceritanya kemarin, tentang seorang cowok yang sering menggodanya di kantor.
Setelah aku telusuri di facebook, ternyata cowok itu adalah seorang desainer grafis di sebuah percetakan kecil di Purwokerto, dan juga seorang freelance photographer, yang kerap dekat dengan wanita-wanita seksi yang menjadi obyek fotonya. Aku galau berat di sudut kamar, membayangkan apa yang mungkin terjadi dengan calon istriku itu, jika yang dihadapinya adalah cowok seperti ini.
Namanya Fais, sebagai seorang photographer dia berpenampilan menarik, dan cukup tampan (mungkin dari sudut pandang cewek, itu sangat tampan). Aku me-lihatnya bukan sebagai bayangan lagi, tapi sudah berupa api berasap gelap yang siap melahap apa saja, meski daun basah sekalipun. Mulutnya akan seperti api besar yang bahkan rumput hijaupun akan dilalapnya juga, apalagi rumput kering.
Aku melihat Fais sebagai playboy, itu yang aku rasakan. Mulut seorang playboy, selain berbisa biasanya juga berbusa. Kekawatiranku ketika bertemu di alun-alun dulu—saat melihat keluguan Liya yang seperti anak SMP—terngiang-ngiang kembali di kepala dan sepertinya tergenapi di sini. Aku berada di jarak dan keadaan yang tidak memungkinkan untuk berbuat sesuatu. Apa kata teman-teman proyek kalau aku tiba-tiba memutuskan pulang lagi—yang sebelumnya saja belum hilang rasa malunya.
“Mas, Fais masih saja menggodaku. Dia memang tak tahu malu. Padahal, dia sudah tahu kalau aku sudah punya tunangan.” Kata Liya di telfon.
“Biadab... !!” aku keceplosan kata-kata yang mungkin terdengar kuno untuk Liya, khas film silat, membuat dia tertawa. “Kok, diketawain?” lanjutku.
“Nggak, nggak...!” Liya coba menenangkanku.
“Padahal, aku udah peringatin dia di facebook, kok bandel ya!!”
“Haha... kamu kalau marah lucu ya, Mas.”
“Kok....? ya udah gini aja, kamu blokir aja facebooknya!”
“Nggak ah, Mas. Aku paling nggak mau kalau disuruh blokir orang. Kalau mau, Mas aja yang blokir!”
“Ya ntar lihat aja!” tapi aku juga tak mudah nge-blok orang di facebook.
Kemudian aku minta nomor hanfon temen sekantornya Liya, sesama admin, yaitu Mbak Pie dan Mbak Hera. Suatu kali aku menelfon Liya tapi tak diangkat, lalu aku hubungi Mbak Pie—yang sebenarnya lebih muda dariku, tapi berhubung Liya memanggilnya mbak, jadi aku memanggilnya mbak juga.
“Mbak Pie, ya?”
“Iya, ini siapa ya?”
“Ini, Abi, tunangannya Liya, Mbak.”
“Oh, ada apa ya?”
“Mau tanya, Liya lagi sibuk apa? Kok disms nggak di bales-bales, di telfon juga nggak diangat-angkat?”
“Nggak tahu loh. Lagi nggak ada di mejanya. Nggak tahu kemana tuh anak.”
“Ya udah, nanti kalau udah balik sampein klo aku telfon ya, Mbak.”
“Ok, ...”
“Makasi”.
Kemudian beberapa saat, aku pun menghubungi Mbak Hera.