DUGAANKU benar, ‘bisa’ ular yang bernama Fais itu telah sampai ke ulu hatinya Liya. Sekarang calon istriku itu telah menampakkan perubahannya. Keraguan terasa sekali meliputi keadaan hatinya. Persiapan pernikahan kami pun menjadi terbengkalai; undangan masih berupa softfile di flashdisk, belum juga menjadi lembaran-lembaran yang dilipat. Renjer sudah angkat tangan dalam masalah ini, karena tugasnya hanyalah mendesain dasarnya saja. Aku tak tahu lagi harus meminta bantuan kepada makhluk siapa lagi.
Beruntung di kantornya Liya, setiap karyawan yang mau menikah, akan dapat diskon besar untuk pembuatan undangan pernikahannya. Sebagus apapun desainnya, akan menjadi terjangkau biayanya. Aku tak mau menyia-nyiakannya. Akhirnya atas desakanku, Liya mau menyerahkan file desain undangan ke kantornya, dan berharap untuk segera dicetak. Namun, ada sesuatu yang menghalanginya untuk segera diselesaikan. Sesosok roh gentayangan mulai menyelusup, dan membayang-bayangi. Sepertinya si Fais sangat senang dengan keadaan ini. Mengingat dia kenal beberapa orang dalam di kantornya Liya, yang bisa dia pengaruhi untuk menghalangi kelancaran pernikahan aku dan Liya.
Sekarang doa Liya sudah berbeda, “Ya Allah, tunjukan jalan yang benar. Apa pernikahanku ini adalah hal yang terbaik atau bukan? Kenapa wajahnya yang selalu ada di kepalaku.” Aku membacanya di status facebook. Namun, aku tak mau pusing dulu memikirkan hal itu. Hanya sesekali berpikir ringan, kemudian dilupakan. Pertanyaanya siapa yang ada dikepala Liya dalam doanya? aku sangat yakin itu bukan aku, dan kemungkinan besarnya itu adalah Fais, ular berbisa itu. Bahkan sekarang Liya berani melawanku.
“Biarlah aku selingkuh untuk yang terakhir kali!” status Liya yang begitu busuk terpampang di berandaku. Dan aku yakin ini adalah pengaruh dari si ular berbisa itu. Sampai sebegitunya Liya terpengaruh, padahal sebelumnya dia sangat cuek. Keagresifan Fais ternyata membuahkan hasil.
Puasaku pun rusak gara-gara memikirkan semua ini. Namun, sebelum pulang aku sudah dikabarkan bahwa undangannya sudah dicetak, fotonya sudah diunggah di facebook Liya. Liya ternyata sedikit terhibur dan semangatnya untuk menikah denganku kembali berkobar. Fais kecele melihat gambar desain undangan aku dan Liya yang full colour dengan foto kemesraan kami berdua terpampang sangat jelas. Tapi, dia masih bisa berkomentar,
“Ternyata, jadi juga akhirnya...!”
Tak tahu malu!
Lalu Liya berkomentar, “Undangannya bagus banget, Mas!” Fais terabaikan, karena hasil kesabaranku.
***
Saat kepulanganku pun datang. Rombongan proyek berangkat petang hari, dan akan tiba di Puwokerto petang hari juga, besok—kalau tak ada halangan.
Di dalam bus aku selalu berkomunikasi dengan Liya dengan rasa rindu yang sudah sangat sulit dibendung. Tapi Liya berubah sangat serius, bermaksud mengungkapkan semuanya lewat sms, sambung-menyambung, tentang apa yang terjadi sebenarnya, di waktu-waktu yang telah berlalu.
Liya: “Mas, sebelum kita nikah. Aku ingin jujur kepadamu tentang semuanya. Aku banyak berbuat jahat sama kamu, Mas. Tapi malam ini, aku ingin terus terang. Terserah Mas mau ngapain, setelah ini. Aku telah berbohong kepadamu, Mas. Sebenarnya ketika hari Valentine, aku sedang jadian sama cowok dekat rumah. Yang ngasih coklat itu sebenarnya pacarku, Mas. Terus kemarin-kemarin ini, aku juga menanggapi Fais, aku pernah diantar pulang sama dia, padahal Mas melarangnya. Aku mengabaikan permintaanmu, Mas. Sekarang terserah Mas mau ngapain.”