Purwokerto, Juni 2010.
SATU tahun sudah berlalu, tapi bayangan gadis itu masih tervisualisasi dalam benak, seperti telah mengendap menjadi partikel-partikel halus yang menuntut realitasnya. Membuatku merasa bergairah untuk menyatakannya. Karena ia seperti “Harapan”; semacam dramatisasi momentum dari hal abstrak, yang berada dalam koridor yang dilalui oleh spirit, dengan kehendak alam bawah sadar. Pokoknya begitu penjelasannya.
Sejak itu, satu persatu kegelapan dalam hidupku pun terasa semakin diterangi. Aku seakan tersadarkan sebagai makhluk yang masih bernafas, dan mulai merasa harus terus begitu, sampai mati.
Pertengahan tahun 2009 itu, memang menjadi titik balik kehidupanku. Setidaknya, aku menjadi lebih bervisi, ketimbang pasrah. Keberuntungan pun mulai banyak terjadi dalam keluargaku— walaupun mungkin itu hanya perasaanku saja, namun yang pasti ini pekerjaan Tuhan—yang paling tidak, membuat orang tuaku teralihkan dari muramnya masa depanku. Salah satunya, adik perempuanku bisa diterima kerja di sebuah bank pemerintah, yang pasti membuat orang tuaku sedikit tersenyum lebar.
Ketika Okta, adik perempuanku, diterima kerja di sebuah bank pemerintah, cabang Bumiayu, pada akhir tahun 2009, aku ditugasi oleh ibuku untuk antar jemput dia, sampai dia menemukan tempat indekost, di sana. Dari rutinitas itulah, aku seperti mendapat spirit dan nafas baru. Paradigma berfikirku pun mulai bangkit, sehingga kemungkinan mendapat jalan pun semakin terbuka lebar.
Setelah beberapa minggu dalam rutinitas itu, Mas Basuki, anak Bude Warni, tiba-tiba memintaku untuk membantu perusahaannya yang baru tiga bulan dibuka. Perusahaan itu bergerak di bidang Advertising, dan aku diajak untuk mengisi bagian operator mesin cetak digital untuk mesin outdoor-nya. Waktu itu, aku langsung mengiyakannya karena itu kesempatanku untuk hidup kembali sebagai manusia, bukan lagi kaleng minuman di tempat sampah atau pun seekor kampret tengik. Beberapa hari kemudian, setelah mengantar Okta ke Bumiayu, aku langsung ke kantornya Mas Basuki. Dan hasilnya, sampai sekarang, aku sudah tiga bulan kerja di perusahaannya Mas Basuki. Sementara Okta sudah mulai indekost di dekat kantornya, di Bumiayu, tepat setelah aku kerja sekitar tiga bulan yang lalu.
***
Meskipun berada di bagian yang tidak begitu nyaman, tapi aku mencoba menjalaninya dengan sepenuh tenaga dan rasa tanggungjawab (hampir semua waktuku dihabiskan di tempat kerjaku itu), karena aku sebenarnya bermasalah dengan ruanganku. Sebuah situasi dimana aku harus berebut udara dengan bau cat yang sangat menyengat, di dalam ruangan transparan, yang membuatku terlihat seperti dikerjain, disamping sebagai opera pantomim, atau ikan hias di toko aquarium. Ruangannya tepat di sudut pertigaan jalan, jadi saat lampu ruangan sudah dinyalakan, otomatis semua diset seperti etalase pertunjukan teatrikal. Begitulah kira-kira.
Sebenarnya sudah dalam tiga bulan ini—saat ada acara pertemuan kantor bulanan—aku selalu mengusulkan untuk menutup kaca ruang kerjaku itu dengan oneway vision(8); dengan begitu aku bisa bekerja dengan nyaman, tanpa merasa terintimidasi oleh hal diluar ruangan, dan orang luarpun tidak merasa dapat hiburan gratis melulu. Namun, pendapatku itu selalu tidak mendapat tempat di meja penuh santapan di acara meeting itu, bahkan si pemilik modal “Pak Hoki”, menjelaskan bahwa semua itu adalah bagian dari tataruang fengsui. Wal hasil, semuanya hanya mengangguk-angguk tanpa memikirkan bagaimana setiap hari bergejolak batin ini menjelang gelap menyelimuti, dan saklar lampu akan dipencet.
Ya sudahlah.
Mungkin saja, aku bisa mendapatkan pelajaran dari pemandangan real kehidupan jalanan di luar ruangan kerjaku yang transparan itu. Yang kadang memperlihatkan kerasnya hari tua seseorang, atau masa kanak-kanak yang sia-sia, yang membuatku merasa harus lebih bersyukur. Orang luar pun bisa melihat kerja kerasku.
Ngomong-ngomong karyawan; tim kerja di perusahaan ini sebenarnya masih bisa dihitung dengan jari, mengingat baru seumur bulan berdiri. Personilnya—saat awal aku masuk—hanya empat orang, itu juga sudah termasuk Mas Basuki yang merangkap sebagai manajer, sekaligus desainer grafis. Ditambah aku, jadi lima orang. Beberapa minggu kemudian ada yang masuk lagi untuk mengisi posisi sebagai desainer grafis, menggantikan Mas Basuki yang sekarang total menjabat sebagai manajer. Lalu tambah lagi di bagian lapangan dan seterusnya. Jadi personilnya sudah mencapai tujuh orang, secara teknisnya. Bisa dihitung dengan jari, bukan?
Begitulah sedikit gambaran mengenai kesibukan kerjaku, sekarang. Dari seorang kaleng yang mencoba hidup sebagai manusia.
***
Petang pukul 19:00 wib.
Renjer – karyawan bagian Desain Grafis yang baru – tiba-tiba bangkit, sambil memeriksa jamnya dengan terkejut. Mungkin jamnya sudah menunjukkan waktu yang cukup genting; tanda untuk isi bahan bakar (sepertinya begitu). Lalu, ia mendorong kursi yang seharian tadi didudukinya, ke belakang. Tangan kanannya memegang perut, sambil mengelus-elusnya,
“Makan nggak kalian?” tanyanya, “Laper nih... ”
Kang Kabul, yang sudah cukup senior di bagian Desain Grafis terlihat sama-sama memperlihatkan raut muka yang tak karuan, “Sama Njer. Ok-lah kalau begitu, waktunya makan! Tunggu sebentar!" katanya, lalu lari ke bagian dalam ruangan, lalu menghilang dalam kegelapan.
Sementara, aku hanya duduk di tangga mini yang menghubungkan ruang desain dengan operator, sambil melihat-lihat sekitar, karena kerjaan baru saja kelar. Ruang desain itu memang terbuka—para tamu pun bisa melihat para karyawan bagian desain grafis yang sedang sibuk melayani customer—sehingga, aku pun bisa dengan mudahnya ngobrol dengan Renjer dan Kang Kabul dari tangga itu, saat ada waktu luang.
“Sabar, Njer!” kataku. Renjer malah menguap. Seakan oksigen dalam otaknya sudah hampir habis.
Kang Kabul—yang memang sebagai tangan kanan Mas Basuki—muncul dari kegelapan, kembali dengan uang berwarna biru, “Njer, Bi, duit buat beli nasi!” katanya, menyodorkan, dengan giginya yang setengah ompong, yang terlihat berkarakter seperti Kaka Slank pada akhir dekade 90an, berikut bodi kurus keringnya. Sementara tangan satunya garuk-garuk pantat.
“Ayo, Bi!” Renjer langsung bergerak sambil menyaut topi di meja.
Aku beranjak letih, “Ayo...! Di mana?”
“Di deket sini ajalah, di pasar! Di mana lagi... !!”
“Ni...!” Kang Kabul menegaskan lagi dengan penyodorkan duitnya.
Aku mengangguk, lalu duit biru itu aku rampas dari tangan Kang Kabul.
“Basuki pakai, yang itu ya... !” Kang Kabul langsung mengutak-atik jarinya, “Aku juga gitu, yang itu dan itu ya? Oh ya, ijo-ijonya jangan lupa, minumnya teh anget...!”
“Iya, Kang, saya paham sekali maksud Anda, kan sudah biasa...” balasku sambil bercanda, menegaskan dengan jempol ke depan wajah laki-laki gondrong itu.